Ajakan Dari
Gunung Merapi
Pagi ini hari terasa dingin sekali. Sebab hujan yang mengguyur deras permukaan
tanah merah. Namun, tak ada alasan untuk tidak datang ke kelurahan tempat aku
bekerja. Kalau baru seminggu sudah malas-malasan, bagaimana ke depannya? Bisa
dipecat atasan aku! Membuka almari peninggalan almarhum Bapak dan almarhumah
Ibu. Mengambil baju hangat dan melepaskan gantungannya.
Blak.
Kututup, namun masih enggan merapat juga pintu ini. Kreeek. Merapatkan papan
yang saling bergesekan. Sudah lama sekali. Mengunci pintu rumah dengan gembok.
Mulai melangkah. Tanah merah ini semakin liat. Becek dimana-mana. Belum lagi
kubangan air yang menghiasi tiap-tiap jalan. Kuangkat celana seragamku setinggi
lutut. Mulai berjinjit jalanku.
“Semalam
Ibu Ratih dengar tidak?”
“Dengar
apa. Bu Tatik?” obrolan ibu-ibu rumah tangga. Padahal hari masih pagi sekali.
Mungkin sekalian berbelanja sambil cerita.
“Dika
tertawa-tawa sendirian. Mengaku bahwa dia sedang menjadi Raja.” Matanya
melotot. Untung saja tidak sampai keluar.
“Masak
sih.” Menunjukkan sayurnya. Tak banyak yang kudengar. Lebih baik kulanjutkan
langkahku agar tidak terlambat. Banyak berharap juga bisa menjadi pegawai
teladan.
Masih
dengan mengangkat span dengan kaos kaki hitam yang menutupi betis. Tiba-tiba
lewat sebuah mobil merah kencang sekali. Menerbangkan percikan air ke udara dan
menjatuhkannya ke arahku.
“Astaghfirullahal
‘adzim.” Mengusap wajahku yang juga ikut basah, sama seperti seragamku, basah.
Lebih berhari-hati lagi jalanku. Berhenti di sebuah gubuk tempat pemberhentian
angkutan desa. Mengulurkan lengan kananku ke depan dan menggerak-gerakkan
jemariku. Meminta sebuah mobil bak untuk berhenti.
“Balai
desa, Pak?” memiringkin posisiku ke arah jendela mobilnya.
“Naiklah.”
Kepalanya menunjuk ke arah belakang. Tak membuang-buang waktu lagi, langsung
saja aku naik. Berbincang sedikit dengan Bapak itu. Tak lama kemudian, aku
turun di depan pagar balai desa.
“Terima
kasih banyak, Pak.” Kutunudukkan kepalaku sebagai penghormatan dan ucapan
terima kasih. Memasuki balai desa. Sudah ramai pegawai di sana. Melihat ke arah
jarum jam, menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh.
“Alhamdulillah,
tidak terlambat.” Meletakkan tasku di atas meja. Mulai menghidupkan komputer.
Terdengar lagi celotehan yang baru saja dibicarakan oleh ibu-ibu pembeli sayur
Mang Iin tadi.
“Dika
yang anak mantan lurah itu loh! Dia berteriak-teriak. Tertawa sendiri sambil
memegang sebilah tongkat bambu.” Matanya menjelit seram.
“Kamu
percaya tidak, Rama?” pertanyaan itu terlontar kepadaku dari Mbak Lisa.
Seniorku.
“Iya,
kamu kan pintar agama, Rama. Ajari kami toh. Apalagi hal ini telah geger
dimana-mana.” Timpal Mbak Rika.
“Ah,
Mbak ini bisa saja. Kalau saya sendiri baru tahu kabar ini. Sebaiknya kita
selidiki dulu sebelum percaya kan, Mbak? Mungkin saja ada sebabnya mengapa Dika
seperti itu.” Ujarku sambil membuka sebuah map besar. Berat sekali. Buk. Debu
berterbangan kemana-mana.
“Tapi,
Dika sendiri yang bilang kalau dia itu Raja. Dia tinggal di kerajaan besar.
Banyak permaisuri disana.” Menunjukkan jari telunjuknya.
“Sananya
itu dimana, Mbak? Hem, kalau saya sih tidak percaya sebelum saya melihat
sendiri.” Ucap Pak Tomo. Agak angkuh nadanya. Membuat mimik Mbak Lisa dan juga
Mbak Rika menjadi berubah.
“Ih,
siapa coba yang ngajak ngomong dia. Sombong sekali. Kalu sudah kualat, baru
tahu rasa dia.” Ucap Mbak Rika kesal sambil berbisik kepada Mbak Lisa.
“Biarlah,
Mbak. Kita diciptakan Tuhan dengan dua telinga untuk mendengar dan sepasang
bibir untuk mengucap. Jadi mengapa tak digunakan?” keadaan semakin memanas.
Ternyata Pak Tomo mendengar bisikan Mbak Rika. Mereka hanya diam tak keenakan.
Tak
lama kemudian ada seorang wanita tua. Dia warga yang pertama datang ke balai
desa hari ini. “Permisi.” Ucapnya sambil merunduk.
“Ada
yang bisa kami bantu, Bu?” jawab Pak Tomo mendahului pegawai-pegawai yang lain.
“Mau
perpanjang KTP. Ada Mas Rama?” matanya celingak-celinguk ke kiri dan kanan
mencariku.
“Saya,
Bu.” Mulai saja kubantu Ibu tua itu. Berjalan mendengkluk sekali.
“Kurang
lebih seminggu lagi, ibu bisa mengambil kartu tanda penduduk yang baru.”
Memberikan lampirannya.
“Terima
kasih.” Mendorong kursinya ke belakang. Berpapasan dengan seorang bapak-bapak.
Mungkin kerabatnya. Begitu akrab dia berbincang di depan pintu balai. “Pak
Sardika hendak mengurus apa kemari?”
“Ini,
KTP.” Menunjukkan sehelai kertas kaku di tangannya. Nampaknya banyak warga desa
yang telah habis masa KTPnya.
“Itu,
Pak. Dengan pegawai yang namanaya Rama saja. Lebih cepat, tidak mahal pula.”
Menunjukku. Mata Pak Tomo semakin menjelitiku. Seperti kesal sekali.
“Oh,
terima kasih. Mari.” Bapak itu memasuki ruangan balai dan menghampiri mejaku
yang bertuliskan ‘Rama Sudiratno’. Sepertinya, tugasku bakala menumpuk hari
ini. Semoga saja, agar semangat bekerjaku semakin bertambah.
Tak
terasa sudah pukul dua belas. Waktunya makan siang. Berjalan ke arah kedai
makanan yang sudah menjadi langganan selama seminggu ini. Ramai oleh pegawai
yang lain. Berdominan wanita.
“Merinding
mendengar ceritanya Mbak Rika. Apa benar, anak mantan lurah kita di ajak ke
kaki gunung?” celotehan ketiga kali tentang Dika, anak mantan lurah.
Lama-kelamaan fikiran itu juga mulai terbayang di benakku.
“Gunung
mana sih? Gunung sampah yang tak pernah dibakar itu atau memang Gunung Merapi?”
ujar Mike, pegawai baru.
“Ya
Merapilah. Masak gunung sampah itu. Lagian sampah itu sudah dikeruk lusa
kemarin. Tidak menggunung lagi.”
“Oh,
maklum. Saya jarang melalui jalan itu lagi.” Menghentikan pembicaraannya
sejenak untuk mengambil pentol bakso dari mangkuknya.
“Mas
ini hendak memesan apa toh?” Tanya pemilik kedai.
“Saya
bakso saja semangkuk dengan es teh , Bu.”
“Baik.”
Menaruh lap tangan ke pundaknya.
“Memang,
siapa yang mengajak si Dika itu?” meneruskan perbincangannya setelah melahap satu
pentol baksonya.
“Entahlah.
Tapi ada yang bilang, Dika menikuti suara seohrang wanita.”
“Ini,
Mas.”
“Terima
kasih, Bu.” Tunggu apa lagi? Langsung saja kuaduk campuran kuah dengan sambal
dan kecap. Mulai menyantapnya tanpa mendengarkan celotehan tentang si Dika,
anak mantan lurah itu.
“Srrruuuupppp.
Alhamdulillah. Berapa, Bu?” meninggalkan kursi plastik.
“Tiga
ribu. Empat ribu.” Menghitung-hitung.
“Berapa,
Bu?” kuulangi sekali lagi. Masih belum jelas hasil penghitungannya.
“Empat
ribu.” Menuju ke balai desa.
Lelahnya
hari ini. Bersantai sejenak setelah shalat ‘isya. Belum kututp jendela. Masih
memberikan kesempatan bagi udara untuk bersirkulasi. Malam ini, desa terasa
sepi dan sunyi sekali. Lampu-lampu jalan sudah mati. Yang ada hanya lampu templok
yang dipasang di setiap pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Pagar kayu
setinggi satu meter pun sudah tertutup rapat. Hanya bilik bambuku saja yang
jendelanya masih terbuka. Menatap langit yang tak satupun dihiasi bintang.
Benar-benar kelam malam ini.
Menatap langit sambil berbaring di atas sehelai tikar
dengan sarong baralur lurik yang menyelimuti tubuhku. Angin menerpa pintu
jendela yang terbuat dari kayu serut. Ngiiiik. Mengilukan sekali bunyinya.
Cukup kencang dan merasuk hingga ke tulang. Kuusap lenganku. Terasa bulu roma
berdiri semua. Menimpa dengan kepala kedua tanganku yang kugunakan sebagai
bantal. Sekilas teringat lagi tiga kali celotehan tentang Dika. Apa iya ajakan
itu memang benar? Percaya tak percaya.
“Tolong! Tolong!” tiba-tiba suara seorang wanita yang
menjerit meminta tolong membangkitkanku dari posisi berbaring. Langsung kubuka
pintu rumahku dan berlari ke arah suara itu berasal.
“Siapa disana?” mataku melirik ke jalan setapak penuh
ilalang. Masih belum kutemukan wanita itu.
“Tolong! Tolong saya. Saya disini.” Makin dekat saja
suara itu. Penasaran menggentayangiku. Kususuri jalan setapak itu. Dengan
sangat hati-hati kuinjak ilalang yang sangat tinggi. Tiba-tibu, bruk. Aku masuk
dalam sebuah lubang dalam. Banyak bidadari disana. Ada sebuah istana megah. Dan
aku duduk di singgasananya. Memakai mahkota dan sebuah tongkat. Akulah Raja.
Namun sesaat kusadari. “Astaghfirullahal ‘adzim.” Mata hatiku terbuka. Ini
bukan istana, tapi ini goa. Gelap sekali. Rasa takut pun menghantuiku. Tongkat
dan mahkotaku ternyata hanya lilitan ular. Kulepaskan ia dari tubuhku. Lidahnya
menjulur. Ada sosok wanita berjubah putih.
“Siapa kamu?” kudekati orang itu dengan mengucap
istighfar tiada henti. Melangkah takut-takut. Kutepak pipiku. Semakin jelas wanita
itu. Rambutnya hitam panjang dan berbalik ke belakang. “Maaf, Mbak ini siapa?”
tanyaku sekali lagi. Bulu roma serasa berdiri tegak bagai antena.
“Tolong saya. Saya adalah korban tabrak lari oleh
seorang pemuda. Dia menabrak saya tanpa bertanggung jawab.” Ia menangis. Masih
enggan memperlihatkan wajahnya.
“Siapa nama pemuda itu?” tanyaku sambil mendekatinya
lagi. Lebih dekat lagi.
“Pemuda itu bernama Dika. Dia membuang saya di tepi
sungai kecil. Tolong saya.” Wanita itu menghilang.
“Rama! Rama!” teriakkan warga semakin membuka mata
hatiku.
“Tadi kau melihatnya kesini atau hanya bayanganmu
saja, Rio?” bentak seorang Bapak.
“Saya tidak bohong, Pak. Saya melihat Rama ke arah
sini.”
“Saya disini!” teriakku dari bawah mereka. Membuat
lingkaran dari jemari, agar suara dapat tertuju ke mereka dan tak terbawa angin
malam.
“Itu Rama.” Rio menunjukku. “Hendak apa kamu disana,
Rama. Ayo naik, Ram.” Mengulurkan tangannya. Kugenggam tangannya. Menaikki
tanah terjal dengan sela-sela lubang. Berhasil juga sampai ke atas.
“Mari bawa dia ke rumah saya.” Ujar Pak Gono. Ketua RT
setempat. Rombongan warga itupun kembali ke rumah Pak RT. Disuguhkan segelas
air tawar. Menyuruhku untuk meminumnya.
“Apa yang Nak Rama lakukan di bawah sana?” kakinya
bersila rapi. Menanyakanku dengan tenang.
“Sebelumnya, saya hendak meminta maaf kepada
bapak-bapak. Saya telah mengganggu malam tenang bapak. Tadi setelah selesai
shalat ‘isya, saya mendengar seorang wanita meminta tolong. Saya ikuti asal
suara itu. Sampai akhirnya saya ikuti sampai ke dalam kebun milik Pak Amo. Dan
saya masuk ke suah lubang. Saya melihat ada istana megah disana. Banyak
bidadari. Dan saya duduk disinggahsananya memakai sebuah mahkota dan tongkat.
Namun, Allah masih mengizinkan saya untuk sadar bahwa itu hanya efek dari
fikiran saya yang sedang kosong. Istana itu adalah goa, dan mahkota serta
tongkat itu adalah lilitan ular. Setelah itu..” pembicaraanku terhenti.
“Nak Rama, kamu ini anak yang dipandang di kampung
ini. Dari Ayah hingga Ibumu, mereka adalah orang terpandang. Jangan kau coreng
nama mereka dengan khayalan belakamu.” Cetus Pak Amo.
“Saya tidak bohong, Pak Amo. Ini sungguh benar adanya.
Setelah itu, saya lihat ada seorang wanita yang tadi memminta tolong. Saya
dekati wanita itu. Bertanya apa yang bisa saya bantu. Dia menjawab, bahwa dia
adalah korban tabrak lari dari Dika, anak mantan lurah. Dia meminta tolong
untuk dikuburkan jasadnya yang dibuang oleh Dika di tepi sungai.” Langsung saja
kuselesaikan kalimatku agar tak ada kesalahpahaman lagi.
“Baiklah, keterangan ini saya terima. Besok pagi
diharapkan bapap-bapak sekalian turut membantu penguburan wanita itu jika
memang benar adanya. Tetapi jika tidak ada bukti tentang keterangan Nak Rama,
maka Nak Rama harus menerima hukuman. Sekarang semuanya boleh bubar.” Satu per
satu warga keluar dari pekarangan rumah Pak Gino. Mengangkat sarungnya
tinggi-tinggi.
“Apa benar apa yang dikatakan oleh Rama? Apa dia
stress sebab ilmu agamanya terlalu tinggi?” lagi-lagi celotehan yang belum
percaya sampai ke telingaku. Tak kuhiraukan mereka. Mataku pun sudah ngantuk.
Berjalan tegap ke rumah, mengunci pintu dan jendela. Menarik sarung dan mulai
memejamkan mata. Sedikit tak menyangka, bahwa celotehan pegawai balai tadi
kualami.
Dur.. dur.. dur.. “Rama! Assalamu’alaikum, Rama!” rasanya
hanya sekejap kupejamkan mata. Ternyata pagi telah menyambut. Termasuk warga.
“Wa’alaikum salam.”
“Mari kita ke tepi sungai untuk membuktikan
omonganmu.”
“Baiklah. Silakan tunggu sebentar.” Mandi sebentar dan
langsung berangkat ke tepian sungai. Ada yang membawa arit, parang dan perkakas
tajam lainnya. Bersiap untuk menebang alang-alang tinggi.
“Mana, Rama? Wanita yang kau sebutkan!” dari semalam
Pak Amo sangat tidak senang dengan pernyataanku. Aku hanya diam. Baru sadar
mengapa langsung percaya dengan kejadian itu.
“Astaghfirullahal ‘adzim!” jerit Rio.
“Ada apa kau ini, Rio? Awak lelaki, tapi penakut.”
Emosinya semakin tinggi. Semua warga menuju tunjukkan jari Rio.
“Ada mayat wanita, Pak.”
“Bawa dia. Ayo cepat.” Termasuk diriku. Langsung
membawanya ke langgar. Sepertinya bukan gadis dari desa kami. Pagi itu langsung
di kubur. Terasa lega diriku. Karena apa yang kubicarakan dapat dipertanggung
jawabkan.
“Nak Rama, Bapak selaku RT di desa ini, ingin
berterima kasih serta meminta maaf atas tuduhan yang telah dilontarkan. Sekali
lagi, terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
“Terima kasih, Rama.” Tiba-tiba saja ada bisikkan di
telinga kiriku. Membuat bulu roma kembali tegak.
S E L E S A I