Prolog
Jika hidup ini terasa berat
Aku tak ingin memikulnya
Tapi aku ingin dan akan menerbangkannya
Jika
aku tak sanggup
Atau
aku tak terlalu tinggi
Maka
aku ingin seseorang yang membantuku menerbangkannya
Jika masih tidak bisa juga
Akan kuhanyutkan bersama tetesan air di
dalam doa
Untuk
mengetahui sebuah rahasia itu seperti mengerjakan soal fisika, tepatnya lagi
matematika. Menggali rahasia bagaikan melanjutkan langkah dari rumus yang ada.
Semakin tahu, maka semakin rasa ingin terus menggalinya. Hingga pori-pori
berkeringat, hingga otak terus dipaksa untuk tak henti berputar. Menemukan
kunci rahasia seperti telah menyelesaikan soalnya. Tinggal, apakah benar atau
salah soal yang telah kita kerjakan. Jika salah, hati terasa kecewa yang
berarti bahwa rahasia itu menyakitkan. Jika benar, maka hati terasa gembira
yang berarti bahwa rahasia itu menakjubkan.
Tapi,
aku tak peduli dan aku tak ingin peduli apakah soalku benar atau salah, rahasia
itu pahit atau manis. Yang akan kulakukan setelahnya adalah bersyukur dan
berterima kasih kepada tuhanku atas segala nikmat yang telah Dia berikan.
Nikmat semangat untuk terus mencoba, nikmat pengetahuan untuk terus melanjutkan
langkah dari rumus, nikmat penglihataan untuk menelaah apa yang sebenarnya
terjadi dan nikmat asa atas apa yang kurasa. Meski terasa pahit, tapi aku
yakin, aku senang. Sebab aku tahu dan tidak hidup dalam kebohongan.
Meninggalkan
atau lebih tepatnya lagi ditinggalkan adalah dua kejadian yang sedikit berbeda
dengan rasa yang sama. Rasa hancur, sakit dan kecewa terluapkan dalam kesedihan
dan tangisan. Apakah itu jalan keluar? Jelas bukan, namun setidaknya asa
emosional yang terpendam sedikitnya dapat terluapkan. Menangis? Apakah sesedih
itu? Apakah dia sangat berharga? Sebenarnya, kalau difkir-fikir sih, tidak
begitu sedih juga dia tidak begitu berharga. Namun, pada saat itu kesedihan
menguasai hati dari segala rasa senang yang pernah ada. Terlihat bodoh sekali. Dunia
terasa sempit bagai daun kelor. Pekerjaan yang ada di bumi ini sepertinya hanya
bernafas, menangis, melamun dan memeikirkan dia. Tidak ada waktu untuk
mengerjakan hal lainnya. Diibaratkan sebagai penyakit, mungkin sudah akut dan
tak ada harapan untuk hidup lagi.
“Kalau
kamu jadi pergi ninggalin aku, aku akan terus nungguin kamu sampe kapanpun.”
Perkataan yang tak mungkin bisa kulupakan, sebab kalimat itu selalu terngiang
di telingaku selama nafas selalu berhembus.
“Masak
sih? Apa yang gak mungkin terjadi di bumi ini? Perasaan sewaktu-waktu bisa
berubah, Ram. Apalagi, kalau nanti aku benar-benar bakalan ninggalin kamu. Gak
ada yang tahu dan juga gak ada yang bisa melarang. Termasuk aku, aku gak bisa
berbuat apa-apa seandainya hal itu terjadi.” Rasanya, sangat tidak mungkin.
Kepercayaanku padanya pun tak timbul sebegitu mudahnya. Kalau wanita mungkin
bisa untuk setia, karena mereka mementingkan perasaan dan emosional
dibangdingkan ara lelaki yang mudah saja melakukan apa yang ia mau dengan
fikiran dan kelogisan.
Janji
bukan jaminan, bukan kalimat yang bisa membuatku terbang melayang. Tapi, aku
wanita yang membutuhkan kesungguhan. Jikalau dia tak berkata seperti itu
sebelum aku pergi, sungguh aku tak mengapa.
“Percaya
deh, aku janji kok.”
“Aku
percaya kamu bisa untuk saat ini, tapi aku gak bisa percaya untuk ke depannya.”
“Kapan
sih aku pernah bohong sama kamu?”
“Kapan?
Kalau soal itu aku gak tahu, urusan hablumminallah dan hablumminannas biarlah
jadi rahasia masing-masing. Sekarang, gini aja deh. Kalau aku kasih
kepercayaanku sama kamu, apa yang akan kamu lakukan?” bukan maksudku untuk
mengintrogasi atau sok acuh terhadap masalah ini. Aku ini wanita sensitif dengan
soal perasaan, makanya aku sangat berhati-hati.
“Aku
akan setia sama kamu, aku akan nunggu kamu sampe kamu kembali lagi.”
“Kalau
aku pulang dua puluh tahun ke depan, apa kamu terus nunggu aku?”
“Mmm..”
nampaknya dia bingung dan tengah berfikir. “Iya, aku akan terus nunggu kamu.”
“Terus,
kalau ternyata aku gak akan balik lagi. Gimana?”
“Mm..”
kedua kalinya ia berfikir. “Kok kamu ngomongnya gitu sih?” dia bangkit di
tengah duduknya. “Apa kamu mau mutusin hubungan kita sampai disini?”
“Hubungan?
Tuhan akan memutuskan nikmatku bila aku melakukannya, Ram. Ambil kembali
janjimu. Aku hanya butuh kesungguhan.” aku rasa dua kalimatku terakhir bisa
membuatnya mengerti. “Sebentar lagi, pesawatnya akan berangkat. Jaga dirimu
baik-baik, Ram. Assalamu’alaikum.” Perlahan aku melangkah menjauh.
“Wa’alaikum
salam.” Dia masih termenung menunduk. “Aku akan jaga diriku baik-baik. Cepatlah
kembali dan temui aku, Al!!” serunya setelah aku mulai memasuki pesawat.
Kulambaikan tanganku dari balik jendela. Tergores seberkas senyum di wajahnya.
Buktikan kesungguhanmu saat aku jauh disana.
*******
Aku
terus berfikir, bagaimana nian cara untuk membuktikan kesetiaanku pada Alya.
Dua puluh tahun? Atau tidak sama sekali. Lalu bagaimana nasibku? “Wanita itu,
sungguh mengagumkan.”
“Ram,
gimana Alya?” untung saja ada Radi, setidaknya aku data bertukar pikiran.
“Alya
udah berangkat.”
“Jangan
murung-murunglah.”
“Gimana
gak murung? Dia memang mengagumkan, gak ada duanya. Gue bilang gue bakalan
nungguin dia sampe dia balik.”
“Terus?
Dia senyum? Apa responnya?”
“Iya,
dia senyum dan bilang gue disuruh ambil janji gue dan ngasih gue pertanyaan yang
cukup bikin kepala dan hati gue saling bertolak belakang. Dia cuma butuh
kesungguhan gue.”
“Loe
bilang apa?”
“Gue
coba.”
“Semoga
berhasil, sob.” Tepukan keras mendarat dipundakku.
Detik berjalan menit, menit berjalan
jam, jam berjalan hari dan seterusnya. Kurang lebih sudah tiga bulan sejak Alya
pergi, namun rasanya sudah setahun. Fikiranku untuk membuktikannya pun tak pernah henti. Cepatlah kembali, Al..
“Daripada loe masih mikirin Alya yang
gak tau juga kejelasannya, mendingan loe ikut gue. Gue kenalin sama ukhti yang
lain. Lebih cantik dan lebih baik daripada Alya.”
“Gak deh. Gue masih ada tugas.”
“Tugas? Tugas apaan? Tugas buat
ngebuktiin kesungguhan loe? Hari gini masih ngandelin kesetiaan? Gak jamannya
lagi, kita tuh laki, ada gak sih cowok digantungin cewek?!”
Hatiku semakin gundah gulana, sebagian
ruang dihatiku setuju dan sebagian lagi menolaknya mentah-mentah. Batinku terus
bergulat dengan nafsu dan ajakan Radi. Apalagi semenjak saat itu, aku lebih
menutup diriku untuk lebih dekat berteman dengan kawan perempuan. Terkadang aku
berfikir tentang perkataannya waktu itu. Menutup atau tepatnya mengurung diri
dengan melakukan hal positif dan banyak belajar untuk semester akhir. Tuhan,
angin, matahari, bintang dan bulan.. jadilah saksi untuk penantian.
Wisuda dan kerja menjadi fikiranku yang
kedua. Mencari tempat sesuai jurusan dan keterampilan. Alhamdulillah, aku
mendapatkannya. Guru di salah satu sekolah Islam Terpadu. Mengajar sambil
menatapi mereka belajar, rasanya aku ingin cepat meneruskan masa depan. Kubuka
tanggalan kecil, tak terasa sudah lima tahun berpisah dengan Alya. Namun,
menakjubkan aku bisa menepati janjiku padanya. Masihkah lama waktuku untuk
menanti, Tuhan?
Saatnya kembali. Assalamu’alaikum Indonesia.
Kulihat tulisan terakhirnya di hari ini.
Hatiku membuncah, rasaku baru saja aku mengeluh. Namun, Allah tak membiarkan
aku terus sedih. Kapan di sampai? Terus kubaca komentarnya dan aku dapatkan.
Aku pergi secepat yang kubisa untuk tak terlambat menjemputnya di bandara. Aku
ingin menjadi orang ertama yang menyambut kembali kedatangannya. Dapat dibilang
juga aku telah melanggar tata lalu lintas, tapi tolong ini sekali saja
kulakukan. Kuparkirkan mobil dan langsung berlari mencari-cari di tengah
keramaian orang berlalu-lalang. Hingga akhirnya tepat di depan pandangan mata,
Alya kembali lagi. “Al..” ada seorang
laki-laki menghampirinya. “..ya.” Aku tak bisa berfikir apa-apa, semuanya
kosong. Untuk berkata pun aku tak bisa. Yang jelas aku kecewa. Kutinggalkan dia
dari pandanganku. Segera aku pergi dan untuk yang kedua kalinya aku melanggar
lalu lintas. Turun di pinggiran jalan dan meutup mobil sekerasnya.
“Tuhan!!! Mengapa kau biarkan aku
kecewa? Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menghadapi ujian seberat
ini. Aku berusaha meneati janjiku padanya. Tapi inikah balasan yang telah Kau
takdirkan untukku? Alya!!!!!”
*******
Apa kamu masih nunggu aku, Ram? Kalimat dari mimpiku semalam. Rasanya hatiku
semakin tak kuat bila aku tak bertindak apa-apa. Kuarahkan mobilku ke tempat
itu. Bila saja Alya datang kesana.
Aku terus duduk dan sepulangan Alya pun
aku terus menanti. Sampai aku teringat ucaannya ‘apa yang tidak mungkin.
Perasaan bisa berubah sewaktu-waktu’.
“Apakah perasaannya juga sudah berubah
terhadapku?”
“Tidak semudah itu, Ram. Wanita itu
lebih mementingkan perasaan dari kelogisan pikiran. Apa kamu sudah membuktikan
kesungguhanmu?” dia datang dan menjawab pertanyaanku.
Kubuka dompetku dan memberikan kartu
identitasku. “Untuk apa?”
“Lihat, statusnya. Sampai sekarang aku
terus menunggu. Aku berusaha menepati kesungguhan dan janjiku. Tapi alangkah
disayangkan, ternyata penantianku ini sia-sia saja.” Kuambil lagi kertu
identitasku.
“Maksud kamu apa, Ram?”
“Alya!” seru seseorang dari dalam. Dan
aku ingat, dia yang mebuat aku kecewa.
“Aku rasa sudah jelas, Al. Perkataanmu
benar, apa yang tidak mungkin dan perasaan seseorang dapat berubah. Maka tak
ada lagi yang dapat aku lakukan. Terima kasih karena kamu sudah mengajarkan
bagaimana caranya untuk menjadi laki-laki sejati dengan kesungguhan. Bukan sekadar
janji.” Aku berdiri dan melangkah pergi. Kuhentikan saja semuanya, daripada aku
semakin menderita.
“Dia sepupuku, Ram. Hanya untuk beberapa
waktu tinggal dirumahku. Aku pun berterima kasih atas kesungguhanmu. Tapi, aku
tetap wanita, mengutamakan perasaan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar