Betapa lelahnya mengarungi waktu
Satu hari terasa seminggu
Seminggu terasa setahun
Dan setahun terasa seabad
Namun langkah
terlanjur jauh berpijak
Di atas tanah dan
rerumputan hijau
Mundur! Mundur?
Hah.. aku tak akan
rela
Aku terlanjur payah
Aku terlanjur jauh melangkah
Aku telah di ambang di tengah
Dan tak mungkin kulepaskan begitu saja
Meski terik semakin
menjadi
Meski keringat terus mengalir
Meski linangan
terus menderu
Aku akan terus
maju, akan kuhadapi dunia baruku
Tapi… aku terhenti sejenak
Kakiku letih untuk melaju
Mataku terpana diam terpaku
Tubuhku tak bergerak menjadi kaku
Salahkah apa yang
kulihat
Salahkah apa yang
kurasakan
Salahkah jalan yang kupilih
Dan salahkah dunia
baruku ini
Tiga tahun kau tinggalkanku
Tiga tahun kutinggalkanmu
Jauh terpisah ruang dan waktu
Jungkir balik coba lupakanmu
Tak ingin lagi
kuingat
Tak ingin lagi kukenang
Tak ingin lagi kukembali di saat itu
Dan tak ingin lagi kubersamamu
Sungguh, semua telah cukup
Lama kusetia dengan janjiku
Janjiku tuk tak melupakanmu
Meski ku tak tahu, apakah kau pun begitu
Kumohon jangan
ungkit
Kenangan itu
sungguh pahit
Dimana duniaku
terasa sempit
Dengan aku yang
selalu terhimpit
Biarlah Tuhan.. biarkanlah
Aku ikhlas dia telah pergi
Pergi jauh dari hidupku
Dan biarkan aku pun terbebas darinya
Aku tak ingin
terkekang
Benakku selalu
membayang
Wajahnya selalu
terkenang
Seolah di depan
pandang
Aku tak percaya
Aku tak yakin
Mengapa wajahnya semakin jelas
Jelas di hadap bola mataku
Mataku terbelalak
Aku terperangah
Tuhan, ku mohon…
Bangunkan aku dai
mimpi buruk ini
BUkan! Ini bukan mimpi!
Mungkinkah dia adalah kamu
Sebagai penggantimu
Dari Tuhan untuk menjagaku di kejauhanmu…
Pahit, manis dan asam
masa yang pernah terlalu menjadi
sebuah kenang
Melangkah
Untuk Kembali
Mungkin apa
yang kulihat dan kurasakan saat ini adalah mimpi. Entah mimpi indah ataukah
mimpi buruk bagiku. Sempat aku berfikir, apakah aku lupa membaca do’a sebelum
tidurku. Namun, ketika aku mulai terbangun, aku sadar bahwa apa yang kulihat
dan apa yang kurasakan saat ini bukanlah
sebuah bunga tidurku. Hal ini adalah kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi
pada diriku dan kehidupan baruku. Aku masih belum yakin dan aku tak percaya.
Aku telah mengikhlaskan dia, seseorang
yang berharga di masa laluku, setelah tiga tahun berpisah dengannya sejak
kepindahan SMP. Untuk menjalin komunikasi seperti dulu pun aku enggan
melakukannya. Hal itu hanya akan membuatku rindu masa lalu dan menangis saat
mengenangnya. Meski tiga tahun kumenunggu untuk setia kepadamu. Namun akhirnya,
kuputuskan tuk akhiri pilihanku ini.
Sore ini pun lagi-lagi aku mendapat
giliran pulang yang terakhir. Sekolah hampir sepi. Dari sekian ratus siswa yang
studi di SMA ini, tinggal beberapa puluh orang saja yang masih bisa dihitung
dengan jari-jariku. Salam-sapa serta klakson turut meramaikan jalan depan
sekolah. Kekeluargaan sekolah ini patut kuacungkan jempol. Bukan hanya dua
jempol, kalau boleh aku pinjam jempol kalian.
Sebelum kulangkahkan kakiku keluar
dari gerbang sekolah, aku sempat melihat kakak itu berboncengan dengan temannya
sambil menenteng-nenteng sepasang sepatu yang ia lepas. Aku tahu ia
memperhatikanku hingga benar-benar pulang dengan sebuah kendaraan. Aku tak
berbalik arah, sekalipun hanya untuk tersenyum menghormati dia sebagai kakak
kelasku. Biarlah biar, aku tak peduli. Aku tak lagi ingin tenggelam dan larut
seperti masa itu. Aku tak ingin terulang lagi. Cukup sekali.
“Jika tak mengharapkan, maka aku tak
akan lagi merasa kehilangan.” Ucapku dalam lubuk hati.
Di sepanjang
jalan pulang, wajahku mendongak menatap awan senja yang mulai kemerahan setelah
di tinggal oleh matahari yang perlahan tenggelam. Hingga tak terasa aku sudah
sampai di rumah. Rasa lelah sehabis belajar seharian lamanya tak lagi pernah
kurasa. Semua kuhadapi dan kujalani dengan senyuman. Belum lagi tugas yang
katanya seabrek-abrek, menurutku itu nggak benar. Sedikitpun, aku jarang
mengerjakan tugas sekolah di rumah. Semua tugasku telah selesai sejak di
sekolah tadi.
Kuambil sebuah buku dari rak buku.
Kubuka di bagian pertengahannya. Mulai saja jari-jariku lentur menuliskan apa
yang ada di fikiranku saat ini.
Bukan sebuah istana yang megah
Tangga tersusun menyongsongnya
Namun berdegup hati nan merah
Ketika perlahan kubuka
mata
Bukan ungkapan
cinta sang pujangga
Juga bukan
lantunan merdu sang penyair
Hanyalah dia
bertegak di depan mata
Membuat tangis
bergerak mengalir
Ingin aku berlari
Menghindari keadaan ini
Tapi apalah daya dalam diri
Jika Sang Kuasa tak memberi
Terjadilah apa
yang hendak terjadi
Lakukanlah apa
yang harus dilakukan
Tapi satu
pintaku, Tuhan
Bantuku tuk
tegar menghadapi
Kenyataan ini
Begitu membuat aku merasa bimbang
Ragu ku selalu bertanya
Rasaku kini terulang kembali
“Wajah
yang sama belum tentu sikapnya juga sama. Terutama hatinya..” Lagi-lagi
bayangan kakak itu terlintas lagi dalam benakku. Hush.. hush.. pergi. Jangan
kemari. Tak ada lagi ruang untuk menampungmu dalam benakku. Sana-sana. Jangan ganggu
aku. Dua kata, bebaskan aku.
Tidur. Satu-satunya cara
menghilangkan kepenatan. Mata yang selalu terbelalak membuka di setiap harinya,
otak yang selalu bekerja dan fikiran yang diharuskan terbuka luas mencengkeram
cakrawala. Dengan berdo’a agar mimpi indah selalu hadir bagai bunga tidurku.
Mengucapkan berbagai kata terima kasih atas nikmat hari ini dan berjuta harapan
untuk hari esok yang lebih baik lagi. Kututup hari ini bersamaan dengan
terpejamnya mataku. Selamat malam, rembulan. Tersenyumlah engkau selama menjaga
tidurku di malam kelam.
*******
Dering jam
bekker yang tersetel semalam sebelum tidur, tepat berbunyi di telingaku. Sontak
aku terbangun dari tidur lelapku. Lagi-lagi mulutku komat-kamit membaca mantra
sebangun tidur dan berjuta harapan di hari ini. Berbagai ritual sebelum sekolah
terlaksana secara urut dari A sampai Z. Lagi-lagi di pagi ini pun aku menatap
lagi langit yang masih berkabut. Embun membasahi rerumputan sekolah yang selalu
terlihat hijau. Kulangkahkan kaki dengan tak gentar. Berdebumlah, berdebum.
Laksana Raksasa ataupun Buto Ijo. Memasuki pekarangan sekolah di pagi buta yang
masih kaya akan oksigen bebas tanpa ada jual-beli disekelilingnya. Tak lama,
sekitar lima belas menit kemudian waktu menunjukkan 06.45. saatnya apel pagi.
Terjajar barisan rapi, dari yang
tertinggi hingga terendah. Pertama kali ikut apel ini aku merasa bingung.
Sebab, di SMP dulu kami berbaris dari yang terendah hingga yang tertinggi,
berbalik arah dengan di SMA sekarang. Pernah salah satu guru dan instruktur
yang terdiri dari TNI, saat latihan disiplin dan mos mengatakan “rangkaian yang
semakin panjang, akan semakin sulit untuk di atur. Di dalam rangkaian terdiri
dari kepala, badan dan ekor. Sebab itulah kamu berbaris dari yang tertinggi ke
terendah’’. Kalimat itu begitu menjamin kepercayaan kami seorang siswa terhadap
gurunya.
Satu persatu
petugas memasuki lapangan apel. Mulai dari pemimpin dan Pembina. Semuanya masih
baik-baik saja, hingga satu petugas memasuki arena apel dari ujung pandangku
melintas di depan, tepat di depan bola mataku. Jantungku mulai berdegup
kencang, darah seolah mengalir tak kenal arus, hatiku meledak membuncah. Seolah
ada pegas yang membuat sekujur tubuhku terasa ngilu-pilu.
“Irsyad?” wajahku memerah. “Irsyad!”
sekali lagi nama seseorang keluar dari mulutku. “Dia, mengapa bisa ada disini? Di sekolahku? Sedangkan terakhir kami
bertemu dia masih di Temanggung sana, di
SMP lama. Lalu?” beribu pertanyaan datang menghampiriku. Seribu kali pun aku
berfikir, tak akan ada satu jawaban yang berhasil kutemukan secara akurat.
Bahkan untuk hipotesis awal pun masih penuh kebimbangan.
Mungkinkah aku masih bermimpi?
Bertemu si doi di setiap hari sambil merasakan hangatnya mentari yang tengah
menyambut pagi. Tak akan bergetar
lagi derap langkahku. Sejuta semangat membakar asaku. Terus kususuri sambil
melihatnya di sepanjang jalanku. Kelopak mataku pun enggan mengedip, walaupun
hanya satu kali. Aku tak ingin dia pergi ‘lagi’ dalam genggam hadapku. Tapi,
sayang, hendak apa kuberkata. Lagi-lagi ini bukan mimpi. Ini nyata! Sungguh nyata.
Rasaku langsung hilang, semangatku lari menerjang. Bukan lagi mimpi indah yang
berubah menjadi kenyataan, namun mimpi ini menjadi menyeramkan. Seutas tali
harapan, pimpinku dalam dekapan menghadapi sulit ujian ini, Tuhan.
“Tapi.. tunggu
sebentar.” Keraguanku semakin menguat. “Irsyad yang terakhir kali kulihat, itu
tidak tinggi seperti ini. Ia juga hanya memiliki bentuk tubuh yang standar.
Sedang yang barusan ini kulihat, Irsyad berbadan tegap dan tinggi. Apakah dia Irsyad?
Tapi.. dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras
dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban
itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
Kejadian itu yang melatarbelakangi
aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari
belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan.
Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat
membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya
seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku
gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
Aku tak tahu apa yang telah terjadi
pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan
pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku
membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang
keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka?
Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian
“sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan
dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini
adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup
baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada
Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta
memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta
bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat
pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak
kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku
memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa
cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan
hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat
buah buku pelajaran setebal alaihim.
“Mbak..” sapaku pada kakak kelas.
Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah
berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan
menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang
menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga
aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas
sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang
berboncengan.
“Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada
diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung
kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang
sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.
*******
Dari sini kulihat dia berjalan,
seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang
berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun
tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat
akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri
dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya,
ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam.
Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku
tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk
ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi
perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan,
sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang
melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok
yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi
hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku.
Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan
untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam
hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja
masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
“Aku percaya, semua masalah
Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap
sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi,
menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya
kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di
pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
“Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak
Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.”
Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
“Oh ya?” tepat seperti yang kemarin
sore.
Kutetapkan tekad membara. Untuk tak
lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan
dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang
melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
“Mila?” sapa seseorang yang tengah
berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
“Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari
telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa
hari lalu telah kuhindari.
“Dipanggil Bu Lia.” Tangannya
menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri.
Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari
pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
“Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk
bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
“Setahu Kakak tadi, kamu juga di
suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah
pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku,
pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku
yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
“Oh, nggak. Siapa aja yang ikut,
Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
“Kakak yang mengajukan, Mil.”
Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku.
Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari
penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan.
Kata-katanya membuat hatiku teriris.
“Referensi lain adalah Ratih. Kakak
sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia
juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
“Tahu apa, Kak?”
“Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh..
kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat
pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan,
aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku.
Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil
mengerjakan setumpukkan soal.
“Tuhan, terjadilah apa yang Kau
kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku
untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan
tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku
yang terasa sempit.
“Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai
kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis,
justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga
tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin
dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
“Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan
Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan.
Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.”
Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang,
membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku.
Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu.
ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas
segala nikmat yang Engkau berikan.
Berkat lomba Sains ini aku kembali.
Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah
kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
“Prestasi membanggakan ini tak hanya
diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah
ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua
pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan
menjadi kebanggaan tersendiri.
“Ratih, kamu bilang apa?”
“Aku? Bilang apa?”
“Udahlah. Aku!”
“Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta
nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
“Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
“Ampun, Mil. Ampun.”
“Sekarang aku yakin, tak pernah ada
yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis
pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar