Bunga Kirana
Bunga. Saat satu kata itu meluncur ke pendengaranmu, apakah yang saat
itu terlintas dalam benak? Penghias taman, pasti itu yang sering terlalu saat
sebuah kata itu terlontar. Namun, bunga itu tak hanya sebagai penghias taman,
tetapi bunga juga dapat dijadikan cermin kehidupan dan perasaan seseorang.
Seperti bunga Mawar. Setiap wanita akan merasa tersanjung dan merekah hatinya
kala seorang lelaki memberinya Mawar. Sekalipun hanya setangkai Mawar. Sebab,
Mawar disini sebagai ungkapan dari sebuah perasaan. Namun apa jadinya jika tak
satupun bunga disukai seorang wanita? Asing dan menakutkan. Bahkan menjadi
suatu hal yang paling dibenci?
Lapangan basket SMA PERTIWI
Berpasang-pasang
mata menyipit oleh sinar mentari pagi. Berapat-rapat orang berdiri.
Beramai-ramai orang bersorak melihat aksi Rana si Kapten Basket Putri dalam
permainannya kali ini.
“Go
Rana, go Rana, go!” melengking suara supporter basket dari garis luar lapangan.
Semuanya mendukung Rana. Padahal kemenangan datang dari kekompakkan tim, bukan
dari aksi Rana seorang.
“Oper,
Ka.” Seru Rana saat Rika membagi bola kepada Maya yang menanti operan bola.
“Yah..”
ketegangan penonton berubah menjadi kekecewaan penonton. Masing-masing bahu
dari mereka membungkuk saat bola tak tepat sasaran dan melambung keluar
lapangan. Berhenti tepat di bawah kaki Rafi yang sedang melangkah membawa
mikroskop.
“Thanks.”
Keningnya berkerut melihat dalam-dalam ke arah tulisan nama di seragam. Gaya santai
yang menjadi ciri khasnya dalam berbicara melukiskannya sebagai anak gaul.
“Rafi.” Terheran lelaki itu melihat mata Rana. Bola matanya ikut melihat ke
mana bola mata Rana menuju.
“Sama-sama,
Ran.” Ucapnya lebih santai dan sederhana. Keheranan Rafi sekejap berpindah ke
Rana. Seragam tim basketnya yang tak memiliki tulisan nama mereka selain di
punggung. Lantas, dari manakah Rafi mengetahui namanya.
“Lho?
Kok bisa tahu?” mengoper bola dari tangan kanan ke tangan kiri. Jarinya
menunjuk. Membelah udara di sekitarnya. Bola matanya melirik ke atas seolah
bertanya.
“Siapa
yang gak tahu sama kapten basket yang …” lagi-lagi sorakan supporter yang
melengking bagaikan gesekkan dua buah besi dengan kecepatan gravitasi yang
besar, memotong pembicaraan mereka. Mengilukan telinga. Sekejap itulah Rana
meninggalkan Rafi. “… gak suka bunga.” Melanjutkan kalimatnya dan tersenyum.
“Kepotong
ya, Sob?” ujar Rama menepuk bahu Rafi dari belakang. “Dasar! Ketua KIR payah.
Soal IPA dan keilmiahan, loe memang menang dari gue. Tapi soal cinta. Hem.
Belum tentu loe yang menang. Nih, gue si Pendekar Cinta.” Tangannya yang semula
terlipat di atas dada, terkepal kuat menepuk dada sebelah kirinya.
“Ah
resek, loe.” Menyingkirkan tangan Rama yang menepel di bahunya. Berjalan terus menuju
lab.
“Tapi
bener, kan?” menghadang langkah Rafi.
“Nggak!”
berjalan melalui sisi samping. Seperti mobil sedan yang berusaha memotong jalan
bus besa lewat sisi kanan jalan tol.
“Buktiin!
Loe pasti kalah dari gue. Haha..” ledeknya meremehkan.
“Sip.
Gue buktiin.” Untuk yang kedua kalinya ia mendahului lewat lajur kanan.
Prok
prok prok. Tepukan tangan memeriahkan akhir dari pertandingan serta kemenangan
tim Rana.
“Sukses,
Bo!!” mengangkat tangannya setinggi bahu. Membiarkan jemarinya berkeliaran bebas
meloncati udara.
“Iyalah.
Siapa dulu?” sahut Rika menyambut kemenangan mereka.
“The
Sweetest Team.” Sorak sorai sambil meloncat di tengah keramaian lapangan
basket. Meninggalkan keramaian menuju loker ganti.
“Ran,
tadi loe ngomong apa aja sama Rafi?” tanya Maya serius. Raut wajahnya tak
terdapat sedikit pun titik senyum. Matanya menatap dalam-dalam wajah Rana yang
sedang membuka loker. Seperti hantu, seram.
“Nggak
ngomong apa-apa.” Seperti biasa, gaya santainya sambil menutup dan mengunci
pintu lokernya.
“Bohong!
Loe suka sama Rafi, kan?” menjatuhkan tangan Rana yang sedang memutar anak
kunci.
“Apaan
sih, May? Gue Cuma bilang makasih. Terus dia …” matanya menatap ke
langit-langit ruangan.
“Dia
kenapa?” menjatuhkan posisi tegaknya. Bersandar dengan loker yang berdiri
tegak.
“Dia
tahu nama gue, May. Padahal, nama kita kan Cuma ada di punggung. Ini nih di
punggung.” Menunjukkan namanya di seragam yang telah ia lepaskan sdari tadi.
“Jangan
coba-coba loe rebut Rafi dari gue!” bangkit ia dari duduknya. Jemarinya
mengarah ke hadapan wajah Rana yang sedikit terkejut.
“May,
loe kenapa? Loe suka sama Rafi? Ambil aja sana. Lagian gue juga gak suka sama
dia. Ambil sana. Ambil.” Emosionalnya meledak. Tangannya menyingkirkan segala
udara yang ada di sekitar. Mengusir dari tempatnya.
“Gue
pegang omongan loe.” Sahut Maya meninggalkan Rana. Rana terdiam terpaku atas
sikap Maya. Berbalik arah melihat sahabatnya yang marah tak teredam. Baru kali
ini ia marah seperti itu, hanya karena seorang lelaki.
Ada
kerikil di anatara persahabatan kami. Ucapnya dalam hati. Berjalan meuju
ruangan kelas.
“Rana!
Tunggu.” Panggil Rama dari lab IPA. Melambaikan tangannya ke atas. Masih dengan
kebingungan atas sikap Maya. Ia bejalan tanpa menghiraukan siapa yang
memanggil.
“Kenapa
lagi?” langkahnya terhenti. Alisnya naik. Bosen melihat batang hidung Rama yang
sedari SMP selalu sekelas. Tak pernah tak terlihat walau hanya satu hari.
Bersahabat dari SMP. Persahabatan yang lebih dari sekadar dekat.
“Wak
elah. Sensi amat. Congrate ya atas kemenangan tim basket loe. Ditunggu nih
traktirannya. Hoy! Gue lagi ngomong ini, Ran.” Jemarinya terbuka lebar.
Bergerak ke kiri dan kanan. Sedang yang sebelah kiri, menunjuk ke wajahnya
sendiri. Meneliti arah pandangan Rana yang sedang celingak-celinguk ke dalam
lab. Tepatnya ke arah Rafi. “Loe lihat apa?” memutar posisi badannya. Melihat
apa yang Rana lihat. “Rafi itu Ketua KIR.” Melanjutkan kalimatnya.
“Oh..
tapi sayang. Gue gak tertarik.”
“Bener,
Ran? Asik.” Tangannya mengepal. Mendorong angin untuk lebih cepat bergerak ke
depan dan belakang.
“Loe
kenapa, Ram? Kayak kucing dapat tulang ikan.” Ucapnya geli melihat tingkah
Rama.
“Ssst!!!”
raut wajah anggota KIR yang marah atas obrolan mereka. Rama melepaskan
spidolnya dan membiarkan buku terjepit di telapak dan jemari tangan kirinya. Dengan mengapit buku berjudul Bunga dan
Serangga, Pak Ketua izin keluar ruangan pada anggota didik.
“Maaf,
kalau kalian ingin ngobrol, di tempat lain saja. Kami masih ada materi.”
Menaikkan bukunya, memperlihatkan bukti, bahwa masih banyak materi yang harus
mereka pelajari.
“Ah..
buku. Buku.” Wajahnya pucat. Secepat kilat ia berlari meninggalkan dua orang
itu.
“Dia
kenapa?” Rafi tercengang ketika melihat preman sekolah lari terbirit-birit.
“Wah,
loe, Raf. Keterlaluan loe. Loe kan tahu, dia gak suka bunga. Gak asik, ah.”
Mendorong bahu Rafi.
“Buku?”
melihat sampul buku yang ia pegang. “Ya ampun, gue lupa. Dia kan gak suka sama
bunga.” Menatap Rama yang ikutan lari mengejar Rana.
Esok pagi…
“Rana!”
seru Rafi menyelaraskan langkahnya.
“Loe
gak bawa hal-hal yang berhubungan dengan ‘itu lagi’, kan?” tanyanya
takut-takut.
“Oh,
iya. Maaf yang kemarin. Gue lupa. Kalau elo gak suka bunga.”
“Ah…”
merintih ia.
“Ran!
Loe gak papa, kan?!” menegakkan posisi Rana. “Maaf sebelumnya, tapi gue pingin
tahu kenapa loe takut sama…” menggerakkan alisnya. Menunjukkan bahwa kata itu
adalah kata yang membuat Rana merasa takut.
“Dulu..
waktu Mama sakit, Mama minta bunga Anggrek. Gue dan Papa gak tahu apa alasan
Mama meminta bunga Anggrek. Karena, keadaannya makin kritis, Papa langsung
datengin semua took bunga yang ada di sekitar rumah sakit.”
“Terus?
Dapet?”
“Iya,
ada bunganya. Tapi.. sayang, saat bunga Anggrek itu ada di tangan Papa, saat
itu juga gue lihat bunga itu jatuh bersamaan darah Papa.”
“Maksud
loe?”
“Papa,
ketabrak. Tepat saat adik gue ngasih kabar bahwa Mama gak bisa lagi ditolong.
Sejak itu, gue benci sama bunga, terutama Anggrek.” Membiarkan Rana bersandar
dengan bahunya sebagai tumpuan. Ia rangkul bahu Rana. “Seandainya gak ada
permintaan untuk beli Anggrek itu, seenggaknya masih ada Papa sekarang.”
“Heh!
Lancang loe. Ngingetin Rana tentang kejadian itu. Gue aja temennya dari kecil,
gak pernah ungkit kejadian itu. Kurang ajar, loe, Raf.” Rama menarik dasi Rafi
dan mengepalkan tangannya, bersiap meluncurkan sebuah pukulan keras. Sedangkan,
Maya menarik tangan Rana, memisahkannya dari pundak Rafi.
“Gue
bilang juga apa?! Loe suka sama Rafi.” Pipi Rana memerah.
“May,
jangan!” tangan Rafi menghela Maya dan tangannya. Ia masih berada id
cengkeraman Rama.
“Rama,
jangan!” berusaha melepas dirinya dari Maya. Rana terhempas jatuh setelah
kepalan sohib kecilnya mengenai wajahnya yang tengah melindungi Rafi.
Cengkeramannya terlepas.
“Rana!”
menepuk pipinya. Menyadarkannya dari pingsan. “Ran, sadar.” Berbaring lemah ia
di klinik kecil. Diambil sehelai kain yang terlipat. Dicelupkannya ke air untuk
mengompres bekas pukulan Rama.
“Ram,
loe diam aja lihat mereka berdua? Gue tahu loe juga suka sama Rana. Kita harus
kerjasama untuk misahin mereka.” Ucapannya membuat emosi Rama menggelegar.
“Eh,
May. Loe tuh mikir donk. Seagresif ini jadi cewek. Pantes kalo Rafi gak mau
sama loe. Gue gak mau terima tawaran loe. Gue lebih seneng lihat mereka berdua,
daripada gue lihat Rana sedih. Karena, mereka saling suka.”
“Pengecut.”
“May,
kita harus dewasa. Mereka salaing suka, kita gak boleh misahin mereka.”
“Hah!”
tangannya mengobrak-abrik angin.
Rafi
terlehit menyudahi merawat Rana. Ia sedang melukis setangkai bunga yang
dipegang oleh seorang wanita. Terhenti jemarinya yang elok melukis, saat suara
rintihan mulai terdengar.
“Syuku,
deh, kalau udah sadar.” Rana terpelanga melihat lukisan di helai kertas.
“Ini
buat aku?” mengambil secarik kertas di tangannya.langsung memeluk Rafi erat.
Rafi tersenyum kala menyadari Rana tak lagi takut dengan… BUNGA.
SELESAI