PATAH
COKLAT
Bodo amat
dah..
Hai,
pecinta cokelat! Siapa sih yang gak suka sama yang manis-manis dan bentuknya
persegi panjang?! Semua orang pasti suka tuh. Suatu kebohongan, kalau kamu
belum pernah sedikit pun mencicipi kelezatan cokelat. Kenalin nih, kami dari Three
Girls Love Chocolates. Namaku Nay dan dua temanku, Rizka dan Mutia. Kami adalah
tiga orang sahabat setia pecinta cokelat. Apapun bentuknya kalau rasa cokelat,
pasti akan kita santap. Gak akan ketinggalan sedikit pun berita tentang
cokelat. Kalian pasti mengira kalau gigi kami sudah gak bersinar lagi kan?!
Salah tau! Walaupun kami senang makan cokelat, gigi tetap putih bersinar.
Sampai-sampai dapat penghargaan dari guru biologi, karena bisa menjaga
kebersihan gigi dari kegemaran makan cokelat. Hal yang paling ditakutkan jika
giginya rusak karena keseringan makan cokelat.
Jadwal
kita bertiga untuk hari minggu adalah hunting
cokelat untuk persediaan. Belum lagi tambahan dari Mama dan Papa. Suka kena
marah juga sih. Tapi, segala sesuatu kan butuh perjuangan untuk mendapatkan apa
yang kita mau, meski sampai kena marah. Cie
ilah, gaya loe ngomong, Nay. Selangit! Nggak papalah, Mut. Ja-im dikit. Tapi,
emang bener si. Haha..
“Mama!
Papa!” teriakan manja dari tiga gadis terdengar sederet rumah di komplek
perumahan Beauty Rose.
“Apa
sih, Nay? Jangan teriak-teriakan donk. Malu sama tetangga.”
“Iya. Ini tuh udah malem. Malu-maluin aja! Udah segede
ini, manjanya gak ilang-ilang.” Timpal Papa. Jadi malu juga.
“Aduh, Mama, Papa. Jangan mengalihkan pembicaraan deh.
Emang kalian lupa apa, jadwal hari ini? Mana cokelat Nay, Ma, Pa?” menadahkan
tangan halus yang tidak pernah menyetuh piring kotor atau sapu sekali pun.
“Itu disana. Sampai kapan kamu mau makan cokelat
terus-terusan?” sambil mengarahkan ibu jari dengan kuku panjang berwarna pink.
“Makasih, Ma, Pa. Aku juga gak tau sampai kapan mau
makan cokelat. Haha.. cokelat, I love you.”
Mencium cokelat pemberian orang tuanya sambil naik tangga.
“Aduh..”
“Makanya, lihatin cokelatnya nanti. Naik dulu. Baru
diajak ngomong tuh cokelat.” Sindir seorang ibu yang sabar teramat-amat sabar.
“Huuuh..”
Di teras kamar..
“Hallo.
Mutia! Rizka! Mana? Udah dapet belum dari bonyok loe?” saling teriak berhadapan
di teras kamarnya. Di terpa angin malam, memamerkan persediaan cokelatnya.
“Nih.”
Memperlihatkan puluhan bungkus cokelat mereka. Memamerkan rasa cokelat satu
sama lain.
“Bokap
gue, beliin gue cokelat Godiva. Enak banget.”
“Minta
donk, Riz!”
“Enak aja. Nggak!”
“Tukeran deh.”
“Nggak. Sekali gue bilang nggak, ya nggak.”
“Loe satu gue dua?”
“Mm.. boleh deh.” Ah. Sok jual mahal deh. Akhirnya mau
juga ditukar.
Tiba-tiba..
“Woy! Berisik loe. Udah malem masih teriak-teriakan
aja!” gertakan yang membuat ketiganya masuk ke kamar masing-masing. Menutup
jendela dan pintu, serta merapatkan gorden.
Di sekolah..
“Eh,
kemarin siapa sih yang marah-marah gak jelas?”
“Mana gue tau, Riz.”
“Bener banget tuh. Marah-marah gak jelas. Emang kita
salah apa sama dia?”
“Emangnya kalian ngapain?” Tanya Siska teman dekat
kami yang gak begitu suka sama cokelat.
“Kita lagi di teras kamar. Ngasih tau cokelat yang
kita dapat dari bonyok kitalah. Eh, ada orang marah-marah. Pake bentak-bentak
segala lagi. Emak Bapak gue aja gak marah. Gimana kita gak kesal. Iya nggak,
Riz, Mut?”
“Itu sih, emang salah kalian. Kalian udah gila apa?!
Malem-malem ngobrol jarak jauh. Pasti ganggu tidur orang tuh. Wajar aja kalau
dia marah sama kalian.”
“Tega loe, ya, Sis. Ngatain temen loe sendiri.”
Memberhentikan sejenak kegiatan makan cokelatnya.
“Nggak gitu juga si. Maksudnya, ada waktu buat kasih
tau cokelat yang kalian punya. Bukan malam-malam gitu.”
“Ngomong soal malem. Malem nanti gue ada acara nih
sama pujaan hati.” Pipinya merah. Tatapannya keatas. Membayangkan sesuatu yang
indah.
“Mau nge-date sama
siapa loe, Riz?”
“Ada deh.”
“Biarin aja, dia gak kasih tau kita, nanti kalau udah
patah hati baru mau cerita. Resek loe, Riz.”
“Hush! Kalo ngomong sembarang loe ya, Nay. Sebagai
sahabat gue, do’ain yang baik-baik kek. Ini do’ain patah hati. Gimana sih?!
Tapi, tenang aja, gue gak bakalan patah hati. Soalnya, dia tuh baik banget sama
gue. Dia gak mungkin nyakitin gue. Malahan, dia yang semangatin gue untuk terus
makan cokelat.”
“Hari gini, gak bakalan patah hati? Nanti juga kemakan
omongannya sendiri.”
“Biarin aja. Asal ada cokelat, gue gak bakal patah
hati.”
“Terserah loe aja deh, Riz.” Mengggigit cokelatnya
sedikit demi sedikit.
Jam 20.00..
“Pake
baju yang mana nih gue? Pilihin donk.”
“Ini.”
Mengambil baju dari lemarinya.
“Norak.”
“Yang
ini?” menunjukkan lagi.
“Kampungan.”
“Yaudah
pilih senidiri deh.” Melemparkan baju dari tangannya.
“Eits,
jangan marah, girls. Oke-oke yang
ini, ya. Not bad. Thanks, ya. Udah
milihin.” Sambil berputar di depan kaca rias.
“Iya.
Semoga kencan loe lancar.”
“Makasih,
ya, girls.”
“Three
girls?”
“Love
chocholates.’
“Gue
cabut dulu.” Keluar rumah menaiki mobil berwarna biru. Lumayan keren.
“Semoga gak kecewa deh.” Dari dalam pagar memberi do’a bagi
si sobat.
Di tempat kencan..
“Kamu
suka banget makan cokelat, ya?”
“Mm..mm”
menjawab sambil makan makanan kesayangannya. Keasyikan makan sampai gak sadar
ada sisa cokelat di pipi.
“Eh,
itu ada cokelat di pipi kamu.”
“Oh.
Iya. Makasih.” Mengelap pipinya.
“Makanya,
jangan suka makan cokelat terus donk. Cokelat tuh bisa bikin gigi rusak
sekaligus gendut. Emang kamu mau apa gendut? Aku sih gak mau. Pokoknya kalau
kamu gendut, aku langsung putusin kamu tanpa mikir-mikir lagi.”
“Kok
loe tega banget si sama gue? Mungkin sekarang gue belum gendut, ya. Tapi,
nanti. Kurang ajar loe, ya. Dasar brengsek.” Terdengar suara kecil dari gesekan
antara pipi dengan telapak tangan. Rizka langsung pergi meninggalkan Adit. Sambil
menangis dan mengangkat gaun warna pinknya. Pipinya merah, bedaknya luntur.
Berhenti sejenak kelelahan berjalan. Di pinggiran taman, di terpa angin malam,
di sinari remang lampu jalanan, gadis itu menangis kecewa. Ternyata apa yang
para sohibnya bilang, kini terjadi.
“Kenapa
gue gak dengerin apa kata temen-temen gue?! Gue benci Adit. Gue benci loe,
Adit. Ih.. gue benci cokelat. Adit brengsek. Loe yang semangatin gue untuk
makan cokelat, tapi loe juga yang bakalan ninggalin gue kalau gue gendut
gara-gara makan cokelat. Maksud loe apa sih? Gue benci loe! Adit! Gue benci
loe. Gue benci cokelat. Gue bakalan tunjukin kalau gue bisa berhenti makan
cokelat.” Teriak dalam tangis karena seorang laki-laki. Mematahkan makanan
kesayangannya menjadi bagian-bagian kecil yang mulai lumer. Melanjutkan
langkahnya menuju rumah. Langkah-langkah kecilnya mengantarkan sampai kedepan
hadapan para sahabatnya yang sedang menunggu kabar.
“Gimana?
Lho, kok loe lemes begini sih?”
“Loe
bener. Adit brengsek. Gue benci.” Merusakkan susunan miniatur dari bungkusan
cokelat persediannya.
“Eh,
sayang cokelatnya. Sini buat gue aja.”
“Gila
loe, ya, Mut. Rizka lagi patah hati gini, loe malah sibuk sama cokelat.”
“Maaf,
maaf. Jangan sedih donk, Riz.”
“Gak
sedih gimana? Adit bilang dia bakal ninggalin gue, kalau gue gendut gara-gara
makan cokelat. Padahal dia yang semangatin gue untuk makan cokelat. Tapi, dia
juga yang ninggalin gue. Adit brengsek.”
“Udah-udah,
Riz. Loe juga sih. Kenapa loe gak percaya sam kita? Gue sama Muti udah tau si
Adit jauh sebelum loe kenal dia. Tapi, loe malah gak percaya sama kita berdua.”
“Aaaaaaa.
Gue benci cokelat. Gue benci Adit.”
“Jangan
nangis lagi donk. Kasian mata loe. Besok kan kita masih masuk sekolah. Nanti
kalau ditanya, loe mau jawab apa. Mendingan loe tidur, ya. Jangan dipikirin
lagi.” Membaringkan temannya. Menyelimutinya.
“Besok
gue jemput kayak biasa, ya.”
Rizka
hanya bisa mengangguk dan menggeleng setiap diajak ngomong. Akhirnya, patah
hati juga tuh anak. Gak percaya si, sama yang kita bilang. Ya gak, Mut?Iya aja dah gua mah. Ah loe. Tapi, gue,
gak nyangka juga sih. Karena Alvi, teman kita bisa kayak dulu lagi. Kita jadi
bisa hunting cokelat lagi setelah
beberapa minggu ini sempat off. Loe kira online apa off?! Komentar aja
si dari tadi. Bantuin gue kek. Sini gue
bantu. Rizka ketemu sama Alvi waktu dia lagi nganterin temen gue yang bawel
ini nih, Nay beli cokelat. Alvi nanya tentang Rizka.
“Rizka
kok tumben gak beli?”
“Dia
benci sama cokelat semenjak putus sama Adit.”
“Kurang
ajar si Adit.”
“Udah
beberapa minggu ini, dia jadi diam kayak gini. Gue sama Nay bingung mau
ngapain.”
“Tenang,
ini urusan gue.” Laki-laki yang bisa dibilang care sama sobat kita, langsung nyamperin Rizka.
“Riz,
jangan sedih terus donk. Jangan gara-gara si Adit, loe jadi gak mau makan
cokelat lagi. Gue kasih tau, ya. Orang yang suka makan cokelat tuh awet muda,
panjang umur. Jadi jangan berhenti makan cokelat. Cokelat juga bisa bikin
perasaan kita jadi tenang lho.”
“Gue
benci Adit.” Mematahkan cokelatnya sambil menatap wajah Alvi.
“Eh,
jangan dipatahin donk.”
“Kenapa?”
gadis itu mulai terpancing untuk kembali seperti sedia kala.
“Kalau
loe benci sama cokelat, berarti loe setuju sama kata-katanya si Adit. Loe harus
lawan. Terus makan cokelat. Gue gak ngelarang loe kok. Gue juga gak akan
ninggalin loe, kalau loe sering makan cokelat.”
“Jadi,
gue harus apa?”
“Terus
makan cokelat.”
“Thanks ya.”
“Yoi.”
Tersenyum sejenak, namun tercengang melihat apa yang dilakukan Rizka.
“Mba,
minta semua jenis cokelat yang ada disini. Cepet, ya.”
“Riz,
buat apa?”
“Lihat
aja. Makasih, mba.”
Berjalan menemui Adit..
“Adit!
Gue gak mau karena loe, gue jadi berhenti makan cokelat. Di depan loe juga gue
bakal makan cokelat ini. Biar puas.”
“Riz.
Jangan gila deh. Ini banyak banget.”
“Biarin.
Loe kan yang bilang, kalau loe gak akan ngelarang gue makan cokelat.”
“Tapi,
gak gini caranya. Ini banyak banget. Bahaya juga.” Sambil mematahkan semua
cokelat yang ada.
“Al,
gue juga nggak segila itu kali. Gue gak mungkin kuat ngabisin cokelat sebanyak
ini. Biarin aja, gue ikhlas kalau harus patah hati. Tapi, gue gak ikhlas kalau
harus patah cokelat yang gue punya. Jahat loe. Matahin cokelat-cokelat gue.”
Pergi meninggalkan Alvi, Mutia dan Nay.
“Maaf,
Riz. Gue gak tahu.” Dengan nada rendah dan menyesal, menundukkan kepalanya.
“Yaudalah.
Yang penting gue tahu, kalau loe peduli sama gue, Al.” berbalik arah.
“Gue gak akan biarin loe patah hati lagi.”
“Bodo
amat dah. Yang penting, gue gak mau lagi patah cokelat.”
“Hahaha..”
kami semua tertawa mendengarnya. Rasa sakit hati Rizka hilang karena cokelat
yang dibawakan Alvi. Senang juga lihat dia bisa tertawa lagi. Haha.. Patah
hati, patah cokelat. Rizka..Rizka.. gue
kira yang paling gila cokelat tuh si, Nay. Taunya Rizka. Ah, Muti… Hahaha…..
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar