Irene
Bagaimana
bisa aku menerima kenyataan ini? Bagaimana bisa aku merelakan dan mengikhlaskan
keadaan ini? Hatiku teriris. Sungguh, aku terluka. Jika ada tempat
persembunyian, jika ada tempat pelarian, aku akan menjerit sepuasnya. Aku akan
menjerit sekencangnya, hingga udara membawanya pergi bersama rasa sakitku ini.
Dan agar kau tahu, betapa pilu hatiku.
Sebuah
janji yang telah kubuat dengannya enam tahun yang lalu, sebelum aku pergi
meninggalkan dia seorang diri. Namun janganlah khawatir, karena sampai saat ini
masih kupegang erat janjiku. Di tempat ini aku bertemu, di tempat ini aku
menghabiskan waktu. Waktu dengannya, dengan segala asa, dengan segala warna.
Dan di tempat ini pula kami berpisah, menggores seberkas kenangan, melukis
segaris harapan, “kita akan bertemu enam tahun ke depan”. Di tempat ini, kakiku
berpijak kembali. Setelah enam tahun berpisah, kucoba tuk tepati janjiku
padamu. Janji kita di Taman Alamanda.
Taman Alamanda. 7 Mei 2010 jam 09.00 pagi.
Temui aku, karena aku kembali
Kukirimkan
pesan singkat padanya. Semoga dia ingat, bahwa ini janji kami. Baru jam 07.00
pagi tadi aku sampai kembali di Bandung, Kota Kenangan. Aku menunggunya di
tempat ini. Kuperhatikan perubahannya. Tidak banyak yang berbeda setelah enam
tahun kutinggalkan. Detik arloji terus berputar, namun Dana belum juga sampai.
Pikiranku mulai menghela-hela. Apakah dia tidak ingat? Apakah sudah ganti
nomor? Dan sebagainya. Aku terus menunggu dan menunggu. Waktu sekarang
menunjukkan sepuluh tepat. Apa aku akan tetap menunggunya? Ini sudah satu jam.
Dan tubuhku juga semakin terasa lelah setelah perjalanan jauh. Terasa sakit
hebat di bagian hati.
Kulihat
handphone di tanganku. Belum ada balasan yang masuk.
Dana, aku di Taman Alamanda. Irene
Sekali
lagi, pesan singkat kuluncurkan. Dan kali ini ada balasannya.
Tunggu, Ine
Huh.. perasaanku sedikit lega. Semoga dia datang tepat waktu.
Setelah
lima belas menit, baru ada sebuah mobil yang berhenti.
“Dana..”
seruku dari bangku taman.
“Ine..”
“Loh?
Gani? Dananya, mana?” aku terpelanga, telunjukku bermain di udara. Terheran
aku. kucheck kembali handphoneku. Tapi
aneh, benar aku mengirimnya ke Dana. Bukan Gani. Tapi…
“Mm..
Dana minta Gani temuin Ine. Dia lagi nganterin adiknya ke bandara.” Jawaban
yang sebelumnya sama sekali tak terlintas di benakku.
“Oh..”
satu kata, kecewa.
“Ine,
capek gak? Aku mau ajak kamu jalan-jalan.” Sahutnya melepaskan aku dari lelah.
“Boleh
tuh.” Setidaknya rencana yang di luar dugaan ini bisa sedikit mengganti
kekecewaanku. “Kemana Dana? Apa dia tidak ingat akan janji itu? Atau?”
fikiranku terbang melayang bersama asaku yang terasa terhempaskan. Gerak semu
pepohonan di sepanjang jalan mendukung suasana hatiku yang sedang kacau
berantakan.
“Kok
ngelamun sih? Mikirin Dana, ya?” ucap Gani menghancurkan lamunanku.
“Eh..
iya nih. Kok dia gak dateng, ya?”
“Kan
aku udah bilang, dia lagi nganterin adiknya ke bandara.”
“Adik?
Adik yang mana?” aku heran. Adik? Dana kan anak tunggal. Apa saat aku pergi dia
ada adik baru? Rasanya tipis kemungkinan.
“Mm..
adik sepupu.”
“Serius?”
alisku meninggi sebelah menandakan bahwa aku tidak percaya.
“Seriuslah.”
Matanya masih memandang jalanan di depan. “Ine makin cantik aja, ya.”
“Bisa
aja. Karena jarang lihat kali ah. Oh ya, kapan Dana bakalan nemuin aku? Aku di
rumah Eyang.” Ternyata aku merasa canggung juga, walaupun Gani kawanku dari
kecil.
“Nanti
aku tanyain deh.” Handphonenya bergetar.
“Siapa?
Aku angkat, ya.” kuambil handphonenya di sebelah tuas. “Dana?”
“Halo!
Gani! Bisa tolong jemput Ibu gue nggak, atau Ibunya Rani. Rani kritis
sekarang.” Jelas sekali dan tak mungkin aku salah. Ini suara Dana.
“Dana?”
aku terperangah sambil memegang handphone di telingaku.
“Gani?
Ini Gani, kan?” ujarnya di seberang sana. Nampaknya dia sedang panik. Tapi,
Rani.. itu siapa? Katanya Dana ke bandara?
“Ini
bukan Gani, ini Ine?” bisikku lemah.
“Ine?
Ine siapa? Mana Gani?”
“Dana,
Irene. Aku Irene, Ine.” Air mataku jatuh. Rasanya hatiku sedikit teriris
mendengar nada bicaranya. Dia lupa, dia tidak ingat padaku. Hal yang kutakuti
selama ini benar terjadi. Juakah ia lupa akan janjinya?
“Halo!”
Gani merampas telepon genggamnya dariku.
“Jemput
Ibu gue sekarang.”
“Halo!
Mati.” Gani menatapku. “Maaf, Ne. Aku..”
“Kita
jemput Tante Mira.” Tanpa basa-basi. Kali ini aku bukan merasa kecewa lagi, tapi
aku sudah mulai muak. Mobil yang kami naikki melesat kencang. Membawaku ke
rumah dulu.
“Ine!”
“Tante!”
Tante Mira memelukku hangat. Ia masih mengenaliku dengan jelas.
“Apa
kabar?”
“Kabar
baik, Tante. Tante, Dana minta Tante datang ke rumah sakit sekarang.” Rasanya
ada suatu rahasia yang harus kubongkar dengan kedua tanganku.
“Kamu
sudah bertemu?”
“Belum.”
Serentetan pertanyaan terus berlanjut selama perjalanan.
“Gimana,
Ine udah ada calon belum?”
“Apa?
Calon? Tante nih ada-ada aja deh.” Aku tertawa miris.
“Loh?
Iya donk. Ine kan cantik, pintar, baik. Masak belum ada yang jadiin Ine hak
milik?”
“Kalo
itu sih udah ada.”
“Berarti
Ine sama Dana impas, ya. Sama-sama.”
“Apanya?”
aku semakin bingung.
“Jadi,
Ine belum tau. Ine masih sama Dana?”
“Ya,
masihlah, Tante. Cuma jarak gak bakalan bisa mutusin hubungan kami gitu aja.
Emang kenapa?” aku terus menggali rahasia ini. Jantungku semakin cepat
berdetak. Rasa sakit itu semakin terasa.
“Nggak,
Ne. Tante kira udah ada yang gantiin Dana.”
“Ya
nggaklah. Tante, Rani itu siapa?” lirih sekali mengucap nama wanita itu.
“Tante
mohon, kamu bisa mengerti.”
“Maksud
Tante?” pembicaraan kami terhenti sampai disini. Rumah sakit sudah berada di
depan mata.
“Tante
mau ke toilet sebentar.” Wajahnya terlihat sedang berfikir.
“Sus,
pasien Rani di ruang mana, ya?” Gani mendahuluiku.
“Rani?
Kanker, Pak? Ruang 505.”
“Raine?
505.” Kulihat nama itu di papan belakang perawat. Aku kenal dia, dia kawan
less. “Gani, aku mau jenguk kawanku dulu. Dia di rumah sakit ini juga.”
Langsung saja kutinggalkan Gani tanpa perasaan. Kususuri petak demi petak
lantai yang berbaris rapi. Hingga tepat ruang 505 di hadapku. Ada orangtuanya
disana. Aku masih ingat. Dulu, sering sekali aku main ke rumahnya. Mencicipi
makanan buatan Ibu Raine.
“Ibu,
masih kenal? Aku Ine, kawan Raine. Gimana keadaannya Raine sekarang?” kusujudi
tangannya.
“Begitulah.
Masih drop.” Kutinggikan leherku.
“Boleh
Ine masuk?”
“Silakan.”
Kubuka pintu ruangan.
“Ya
ampun, Rai. Dulu kamu masih baik-baik aja. Sekarang? Penyakit kamu ternyata
semakin parah. Kenapa kamu selalu sembunyiin ini?” kupegang tangannya. Dingin
sekali. Wajahnya pucat. Kenapa selalu sembunyiin? Bukannya aku pun begitu?!
“Da..
na..” ia tersadar. “I.. bu..” segera kupanggilkan Ibunya.
“Alhamdulillah
syukur, kamu sudah sadar, Ran. Istirahat dulu, jangan banyak gerak.” Apa? Ran?
Rani? Lalu, tadi dia menyebutkan Dana. Apakah Rai yang dimaksud Dana? Raine
adalah Rani.
“Ine
kan?” ucapannya masih lemah.
“Iya,
Rai. Kok bisa sih kamu sebegini adanya? Cepet sembuh, ya. Kamu harus sembuh.
Nanti kita telusurin lagi jalanan yang dulu pernah kita jelajah. Hehe..”
“Iya,
ya. Janji, ya. Tapi, kita perginya bertiga, ya.” tangannya berusaha mendapatkan
tanganku.
“Siapa
satunya?”
“Dia
someone special. Namanya Dana.” Sontak aku terkejut. Darah mengalir deras dari
ujung kepala hingga kaki. “Itu dia.” Seorang laki-laki memasuki ruangan. Aku
kenal dia, hubunganku dengannya cukup dekat. Dia yang berjanji padaku di Taman
Alamanda. Dan, miracle, dia Dana. Milik Raine. Peluh hatiku, teriris, tergores,
terluka dan entahlah asaku tak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Mataku
mengembang. Aku tak ingin menelan kenyataan, tapi harus kuakui dia memang Dana.
Tuhan, enam tahun berlalu dengan kesetiaan. Ternyata ini balasan yang kuterima.
Rasanya putus sudah harapanku. Dunia bagaikan berhenti berputar dan aku tak
ingin lagi melanjutkan perputarannya.
“Ine..”
matanya membundar setelah ia melihatku.
Sulit
rasanya bibirku tuk berucap walau hanya sekata. “Iya, Dan.”
“Sejak
kapan kamu disini?”
“Baru
saja. Rasanya sekarang, aku harus pulang.”
“Pulang?”
“Jadi,
kamu udah kenal, ya? Kenapa kamu gak bilang, Ne?”
“Kenal?
Rai atau Rani. Aku pulang dulu, ya. Lain waktu aku pasti kesini lagi.”
Kutinggalkan ruangan itu dengan sejuta kehampaan, dengan sejuta kekesalan,
kekecewaan, kesedihan dan semuanya yang menyatakan bahwa aku patah hati.
Bagaimana aku bisa menerima keadaan ini, Tuhan?
“Ne,
kok pulang?” sapa Gani di tengah jalanku.
“Udah
gak ada lagi yang bisa diharapkan. Besok aku pulang. Aku gak bisa lagi tinggal
di Bandung.” Sengaja kuteteskan air mataku. Aku ingin mereka tahu, betapa perih
hatiku. Kupanggil taksi. “Taman Alamanda.” Hari yang mendukung. Dikesendirian
Taman Alamanda hujan turun menyamarkan air mataku. Biarlah, biar orang tahu.
Hatiku hancur.
“Aaaaaaaaa!!!!!!!!
Kamu bohong, Dan. Bohong. Mana janji kamu? Untuk apa lagi aku disini? Ternyata
aku adalah orang yang paling bodoh. Mengapa aku senantiasa memegang janjiku
dikejauhan yang alhasil ini yang kudapatkan? Mengapa kamu hapus janji kita?
Mengapa kamu tinggalin aku? Dia! Raine! Kawanku. Rasakan betapa hancurnya
hatiku saat ini. Enam tahun, Dan. Enam tahun. Bukan waktu yang singkat untuk
melatih kesetiaan. Kamu negrti gak sih????!!! Aaaaaaaaaaaa.” Kulupakan
segalanya. Aku ingin merasakan kelegaan.
“Ine.
Aku minta maaf. Tapi, aku harap kamu ngerti. Bukan karena aku lupain janji
kita, bukan juga karena aku gak bisa setia, tapi Rani kritis. Dokter bilang gak
akan lama lagi.”
Aku
langsung berbalik arah. Kuhapus air mataku dari pandangannya. “Jadi, aku juga
boleh melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi kamu? Apa yang akan
kamu lakukan saat itu? Kamu tahu? Duniaku terasa berhenti berputar. Aku menaruh
harapan besar untuk kembali ke tempat ini. Dan ternyata, kamu menghempaskan
semua harapanku. Apa aku juga harus kritis agar kamu lebih mementingkan aku
dari yang lain? Dari janji, dari cinta dan sebagainya. Apa harus begitu, Dan?”
aku.. jujur.. atau kelepasan? Sakitku.. semuanya tiba-tiba saja menjadi gelap.
Tubuhku terasa lemah.
Ruangan
ini sepertinya aku kenal. Iya, ruangan Rai. Tapi mengapa peralatan ini melekat
erat di tubuhku? “Tante..” sulit rasanya.
“Jangan
banyak bergerak. Kamu butuh banyak istirahat. Sudah seminggu kamu disini.”
“Aku?
Seminggu?”
“Gak
main-main. Hati kamu..” ucap Dana di sebelahku.
“Hatiku?
Apa kamu tahu tentang hatiku?”
“Sakit,
Ne.”
“Memang,
sakit sekali hatiku.”
“Aku
serius.”
“Mm..
Mama keluar dulu, ya.” kami terdiam.
“Rani,
udah pergi.”
“Pergi?
Ya ampun, kenapa aku bodoh banget. Pasti ini gara-gara aku. Gara-gara aku.”
hatiku semakin ingin memberontak. Kebodohan dua kali kulakukan. “Ah..” rasa sakit
itu kembali kurasakan. Hatiku.. kali ini, benar-benar hati..
“Sudah,
Ne. Sudah. Biarlah Rani tenang. Ini bukan salah kamu. Aku gak mau lagi
kehilangan kamu untuk kedua kalinya, Ne. Kamu harus sembuh. Aku akan merangkai
harapanmu lagi dan memutar duniamu lagi.” Dia memelukku erat. Menghentikan aku
dari rontaanku.
“Aku
sakit, Dan.. sakit sekali.” dibalik rasa sakit ini, ada dua. Hati dan perasaan.
Semoga Tuhan memberikanku satu kesempatan lagi untuk memerbaikinya.
Kejadian itu yang melatarbelakangi
aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari
belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan.
Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat
membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya
seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku
gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
Aku tak tahu apa yang telah terjadi
pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan
pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku
membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang
keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka?
Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian
“sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan
dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini
adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup
baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada
Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta
memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta
bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat
pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak
kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku
memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa
cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan
hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat
buah buku pelajaran setebal alaihim.
“Mbak..” sapaku pada kakak kelas.
Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah
berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan
menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang
menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga
aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas
sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang
berboncengan.
“Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada
diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung
kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang
sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.
*******
Dari sini kulihat dia berjalan,
seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang
berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun
tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat
akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri
dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya,
ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam.
Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku
tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk
ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi
perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan,
sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang
melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok
yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi
hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku.
Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan
untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam
hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja
masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
“Aku percaya, semua masalah
Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap
sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi,
menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya
kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di
pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
“Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak
Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.”
Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
“Oh ya?” tepat seperti yang kemarin
sore.
Kutetapkan tekad membara. Untuk tak
lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan
dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang
melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
“Mila?” sapa seseorang yang tengah
berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
“Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari
telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa
hari lalu telah kuhindari.
“Dipanggil Bu Lia.” Tangannya
menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri.
Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari
pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
“Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk
bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
“Setahu Kakak tadi, kamu juga di
suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah
pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku,
pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku
yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
“Oh, nggak. Siapa aja yang ikut,
Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
“Kakak yang mengajukan, Mil.”
Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku.
Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari
penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan.
Kata-katanya membuat hatiku teriris.
“Referensi lain adalah Ratih. Kakak
sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia
juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
“Tahu apa, Kak?”
“Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh..
kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat
pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan,
aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku.
Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil
mengerjakan setumpukkan soal.
“Tuhan, terjadilah apa yang Kau
kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku
untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan
tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku
yang terasa sempit.
“Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai
kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis,
justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga
tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin
dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
“Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan
Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan.
Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.”
Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang,
membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku.
Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu.
ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas
segala nikmat yang Engkau berikan.
Berkat lomba Sains ini aku kembali.
Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah
kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
“Prestasi membanggakan ini tak hanya
diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah
ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua
pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan
menjadi kebanggaan tersendiri.
“Ratih, kamu bilang apa?”
“Aku? Bilang apa?”
“Udahlah. Aku!”
“Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta
nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
“Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
“Ampun, Mil. Ampun.”
“Sekarang aku yakin, tak pernah ada
yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis
pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar