Say What Do You Feel Now!!!

Jumat, 27 Juli 2012

Goresan Luka Ayah


 Goresan Luka Ayah
            Masih membekas segores luka di hatiku dan hati Bunda. Serta kejadian pada saat itu pun, masih segar dalam ingatan. Seperti baru terjadi kemarin. Meski sudah kami coba untuk melupakannya, namun tak bisa lepas dari benak. Tak kuasa kumenahan air mata ini untuk tidak tertarik gravitasi, namun kelopak tak lagi kuat untuk membendungnya. Mengapa Ayah begitu tega? Melakukan hal ini pada kami. Meninggalkan kami berdua dan pergi dengannya. Semakin kuat bayang-bayang peristiwa itu.
“Kok tumben pulangnya malam sekali, Yah?” Tanya Bunda sambil membukakan dasi Ayah. Jemarinya begitu elok melepaskan simpul dasi. Menyiapkan segelas kopi untuk Ayah, agar tubuhnya terasa lebih hangat.
Ting.. ting.. ting. Bunyi penampang sendok dengan tepi gelas berisi kopi hangat. Masih mengepul asapnya. Kulepaskan pena yang kugenggam. Berdiri dari dudukku. Kutadahkan kedua tanganku di bawah telapak tangan Ayah untuk bersalaman. Ayah membalas tanganku. Tangannya berkeringat, juga terasa agak dingin. Terduduk lemah. Membantingkan tubuhnya di atas sofa. Meniup asap kopi dan meminumnya perlahan.
Kulihat di saku jasnya, ada sebuah tabung kecil berwarna putih transparan. “Ayah, Riri mau permen yang ada di jas Ayah.” Tunjukku ke tabung itu.
“Jangan. Ini bukan permen. Besok saja, akan Ayah bawakan permen cokelat untuk anak kesayangan Papa.” Mengusap rambutku. Rasanya, aku sedang melayang saat mendengar jawaban Ayah. Seperti menjadi bagian yang sangat berharga dalam hidupnya. Sangat-sangat berharga.
“Benar, Yah?” kuhadapkan mataku ke arah Ayah. Mataku bersinar-sinar.
“Tentu saja. Lanjutkan belajarmu.” Mendekap bahuku erat. Lalu melepaskannya kembali. Kulanjutkan tugas rumahku. Sambil tersenyum kubaca soal-soal yang tertera pada halaman itu.
“Ayah, air panasnya sudah siap.” Sahut Ibu dari kamar mandi. Terdengar bunyi gemercik air. Langsung saja Ayah melepaskan jasnya. Tanpa ia sadar, tejatuh tabung yang tadi kukira permen. Mataku melirik ke arah Ayah. Dengan sangat hati-hati, kuambil tabung itu. Ada sebuah kertas yang mengelilingi tabung itu.
Tn. Rama Rianto
Tak ada keterangan lain, selain nama Ayah yang tertera pada kertas itu. Kumasukkan kembali dengan segera. Berdegup kencang dadaku saat Ayah menutup pintu kamar mandi yang sudah tua. Sedangkan Bunda tak mengenal lelah. Masih saja mundar-mandir menyiapkan makan malam. Cukup lelah mengikuti langkahnya, namun selelah apapun aku harus ada di sampingnya. Kulepaskan lagi penaku dan meninggalkan tugasku untuk membantu Bunda.
“Tolong ambilkan teko air minumnya di dapur.” Menepuk bahuku lembut.
“Iya, Nda.” Pergi ke dapur dengan segera. Kembali dengan mendahkan tangan sebagai penyangga alas teko dan satu tangan lagi untuk memegang gagang teko.
“Terima kasih, Ri.” Ucap Bunda mengambil teko dari tanganku. Kurang lebih sekitar lima belas menit Ayah di kamar mandi. Pintu tua itu kembali bersuara. Ngiiiik. Mengilukan.
“Makan malamnya sudah siap, Yah.” Menyambut Ayah tepat saat ia baru melangkahkan kakinya dari pintu kamar mandi. Menarik kursi yang berdiri di sisi kanan meja makan. Agar Ayah dapat leluasa duduk untuk menyantap makan malamnya. Wajah Ayah terlihat pucat. Bunda masih sibuk mengambilkan piring dan nasi untuk Ayah.
“Ayo dimakan, Ri. Kenapa lihatin Ayah saja?” Tanya Bunda. Mengalihkan tatapanku yang semula tertuju pada Ayah.
“Iya, Bunda.” Memulai makan dengan mengambil sendok di sisi kiri piring yang baru berisi nasi putih. Mengambil lauk dan sayur. Mulailah gigi-gigiku mengunyah makan malam kami. Malam ini tak banyak perbincangan yang dicakapkan. Ayah terlihat lelah sekali. Selesai makan langsung ke kamar untuk tidur. Begitupun dengan aku. Mematikan lampu kamar dan menarik selimut.
Keesokan harinya adalah hari yang merugikan. Aku telat. Bercepat mandi dan sarapan. Langsung berangkat sekolah. Setiap hari, berangkat ke sekolah diantar Ayah. Namun tidak untuk hari ini. Aku harus mengayuh pedal sepeda. Ayah telah berangkat ke kantor dari pagi buta. Tanpa pamitan kepada kami. Kanan dan kiri kakiku mengayuh. Cepat dan semakin cepat. Jantung terpompa lebih dari biasanya. Suara semangat yang mengapi-api keluar. “Huhah. Huhah.” Dadaku membusung. Untuk mendapatkan sejumlah energy. Meningkatkan kayuhanku, agar sampai tepat waktu. “Sampai.” Kulihat pintu gerbang sekolah yang bercat merah masih terbuka. Kukayuhkan lagi sepeda ini.
“Pak, jangan ditutp dulu. Riri belum masuk.” Teriakku dua langkah sebelum gerbang. Panik melihat penjaga sekolah yang mulai menutup pintu.
“Yasudah. Cepat masuk.” Beruntungnya aku, Pak Didi masih mengizinkanku masuk. Bunyi standar sepeda berisik sekali. Berlari aku ke kelas. Menges. Ternyata pelajaran sudah dimulai.
“Permisi, Bu.” Kuketuk pintu yang setengah terbuka itu.
“Riri, kenapa telat?” aku hanya diam. “Lari lima lapangan.” Mengarahkan telunjuknya ke lapangan uoacara. Mataku terbelalak. Tercengang aku mendengar hukuman ini. Mau tak mau, aku harus kelilingi lapangan upacara. Baru saja nafasku terhembus panjang, kini aku harus mengambil nafas lagi. Jarum jam sekolah sudah menunjukkan setengah delapan, pergantian pelajaran pertama telah selesai. Aku bisa masuk kembali ke dalam kelas. Menepak keras pintu kelas. “Huh!” beberapa tetes keringat dari dahiku berjatuhan. Tanpa membuang-buang waktu, kuletakkan tas di atas kursi.
“Kenapa bisa telat, Ri?” Tanya Lia mentap aku yang sedang kembang kempis menarik nafas.
“Huhahuhah. Akuh.. akuh telat. Ayah pergi duluan.” Merah wajahku. Sudut ruangan bagai tak berlampu, tak ada cahaya yang meneranginya. Semuanya terlihat gelap. Tak lama, tiba-tiba saja aku terbangun dan berbaring di UKS Sekolah. Perlahan mengedipkan mata. Pusing sekali. Atapnya berputar.
“Minum dulu, Ri.” Ujar Lia mengambilkan aku segelas air. Kubangunkan diriku untuk duduk bersandar. Meneguk air untuk membasahlan tenggorokkan. Melihat ke arah jam di UKS. “Hah? Setengah dua belas?” mataku langsung terbelalak.
“Iya. Lama sekali kamu pingsan.” Berarti hanya rasaku saja yang sebentar.
Kring.. kring. Bel sekolah terdengar. Berbondong-bondong siswa dan siswi keluar kelas. “Kamu naik sepeda?” Tanya Lia.
“Hemm.” Ucapku singkat, menganggukkan kepala.
“Bisa?” alisnya naik.
“Bisa kok.” Jawabku.
“Hati-hati, ya.” Lia mengantarkanku sampai ke parkiran. Melambaikan tangannya sambil mengucap kata, “Dadah.”
Kakiku masih harus mengayuh sepeda sekali lagi. Menyusuri jalan hingga pulang ke rumah.
“Bunda. Riri pulang nih.” Membuka pintu rumah. Sepi sekali. Ruang per ruang kudatangi. Tak satupun ruang memberikan jawaban tentang keberadaan Bunda. Membuka tudung saji. Masih kosong. “Bunda?” aku berteriak. Lelah. Tak ada seorang pun di rumah. Masuk ke kamar. Kulemparkan tas dari pundak. Membantingkan diri di tempat tidur. Tak sadar aku telah terlelap.
“Riri!”. “Riri!” blak. Membuka pntu kamarku. Terkejut aku. Langsung bangun dari tidurku.
“Bunda?” mengepalkan kedua tangan dan menekannya di bola mata yang masih lengket dengan kelopak.
“Ayo, mandi. Nanti kita makan diluar saja. Bunda tidak masak hari ini.” Menarik selimutku. Bergegas aku ke kamar mandi. Menarik handuk yang tergantung di tali jemuran. Byur. Dingin sekali rasanya. Masih sedikit pusing di kepala.
“Ayo.” Membuka pintu taksi yang sedari tadi menunggu di depan rumah. Buk. Menutup pintunya dan langsung jalan. Tak kusadari ernyata hari sudah malam. Krucuk krucuk. “Riri lapar, ya?” Bunda menatapku saat sejumlah alunan orchestra perutku berbunyi. Aku hanya teesenyum malu. Beberapa menit setelah menikmati angin malam, kami sampai di sebuah rumah makan. Memesan makanan siap saji untuk Ayah. Tak lama kulihat Bunda yang sedang menghampiri seorang laki-laki yang sedang berdiri dengan wanita yang sedang duduk di sebelahnya. Kuhampiri mereka. Meninggalkan meja makan kami.
“Bunda.” Kupanggil ia. Sedang menangis. Ternyata laki-laki itu adalah Ayah. Namun, aku tak kenal dengan wanita itu.
“Salah Bunda apa sama Ayah? Kenapa Ayah berani meminang wanita ini tanpa izin dari Bunda dan Riri? Apa yang belum bisa kami cukupi sebagai pendamping hidup Ayah?” air matanya berlinangan. Aku pun ikut menangis. Aku kecewa dengan sikap Ayah. Ayah telah berbohong. Bohong akan janji permennya. Kami terpukul sekali. Ayah telah membuat lubang yang dalam di hati kami. Ayah juga telah menggoreskan luka di hati kami. Ia pergi membawa wanita itu dengan kotak cincin berwarna merah. Meninggalkan aku dan Bunda yang sedang menangis di depan umum. Ayah benar-benar pergi dari kami. Meninggalkan aap knalpot mobil. Teriris pedih. Tak kunjung pulang ke rumah sampai saat ini. Semakin jelas bayang kejadian ini.
Teng neng. Bunyi suara bel yang mengharuskan aku meninggalkan bayang-bayang ini. Menghapus air mataku. Berlari dengan segera membuka pintu. Ngiiik. Lagi-lagi bunyi pintu tua itu terdengar semakin tua.
“Riri?” sapa seorang Bapak tua kepadaku. Kulitnya telah keriput. Matanya terbelalak menatap diriku. Bersama seorang wanita.
“Siapa, Ri?” seru Bunda yang keluar menemui aku dan tamu ini. Mata Bunda juga ikut terbelalak menatap tamu yang masih diluar rumah.
“Ayah? Riri, masuk ke kamar.” Menarik tanganku keras sekali. Tanpa berbuat apa-apa lagi, aku langsung masuk ke kamar. Terdengar suara mereka. Memakai nada tinggi antara keduanya.
“Bunda, Ayah kesini ingin minta maaf kepada Bunda dan Riri. Ayah meninggalkan kalian dengan sebab, Nda.”
“Bunda tau, Yah. Sebabnya adalah Ayah ingin memiliki keluarga yang lebih sempurna daripada kami. Seperti apa yang Ayah dapatkan dengan wanita ini.”
“Ayah bisa jelaskan semuanya. Izinkan Ayah untuk memperbaiki ini semua. Saat itu Bunda dan Riri salah faham. Wanita ini bernama Nyimas. Dia adalah seorang dokter kanker. Dia yang membantu Ayah untuk sembuh.”
“Jadi, saat itu Ayah sedang sakit? Keras? Bagaimana dengan cincin itu?”
“Itu adalah cincin pertunangannya dengan calon. Nyimas menganggap Ayah sebagai salah satu sahabatnya. Ia memperlihatkan cincin lamarannya pada Ayah. Itu bukan milik Ayah.”
“Ayah. Maafkan Bunda. Harusnya saat itu Bunda menanyakan hal yang sedang terjadi pada Ayah. Maafkan Bunda, Yah.” Aku berlari dari kamar. Dan kulihat Bunda bersujud di telapak kaki Ayah. Menangis.
“Ayah!” aku berteriak dan langsung berlari. Ternyata goresan luka itu..
“Maafkan Riri, Yah.” Kupeluk tubuh Ayah yang tak segar lagi. Aku menangis dalam pelukannya. Berharap, semoga goresan luka di hati kami selama ini dapat sembuh dengan kembalinya Ayah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar