Say What Do You Feel Now!!!

Selasa, 06 November 2012

Kesungguhan Dari Kesetiaan


Prolog

Jika hidup ini terasa berat
Aku tak ingin memikulnya
Tapi aku ingin dan akan menerbangkannya
            Jika aku tak sanggup
            Atau aku tak terlalu tinggi
            Maka aku ingin seseorang yang membantuku menerbangkannya
Jika masih tidak bisa juga
Akan kuhanyutkan bersama tetesan air di dalam doa


            Untuk mengetahui sebuah rahasia itu seperti mengerjakan soal fisika, tepatnya lagi matematika. Menggali rahasia bagaikan melanjutkan langkah dari rumus yang ada. Semakin tahu, maka semakin rasa ingin terus menggalinya. Hingga pori-pori berkeringat, hingga otak terus dipaksa untuk tak henti berputar. Menemukan kunci rahasia seperti telah menyelesaikan soalnya. Tinggal, apakah benar atau salah soal yang telah kita kerjakan. Jika salah, hati terasa kecewa yang berarti bahwa rahasia itu menyakitkan. Jika benar, maka hati terasa gembira yang berarti bahwa rahasia itu menakjubkan.
            Tapi, aku tak peduli dan aku tak ingin peduli apakah soalku benar atau salah, rahasia itu pahit atau manis. Yang akan kulakukan setelahnya adalah bersyukur dan berterima kasih kepada tuhanku atas segala nikmat yang telah Dia berikan. Nikmat semangat untuk terus mencoba, nikmat pengetahuan untuk terus melanjutkan langkah dari rumus, nikmat penglihataan untuk menelaah apa yang sebenarnya terjadi dan nikmat asa atas apa yang kurasa. Meski terasa pahit, tapi aku yakin, aku senang. Sebab aku tahu dan tidak hidup dalam kebohongan.


            Meninggalkan atau lebih tepatnya lagi ditinggalkan adalah dua kejadian yang sedikit berbeda dengan rasa yang sama. Rasa hancur, sakit dan kecewa terluapkan dalam kesedihan dan tangisan. Apakah itu jalan keluar? Jelas bukan, namun setidaknya asa emosional yang terpendam sedikitnya dapat terluapkan. Menangis? Apakah sesedih itu? Apakah dia sangat berharga? Sebenarnya, kalau difkir-fikir sih, tidak begitu sedih juga dia tidak begitu berharga. Namun, pada saat itu kesedihan menguasai hati dari segala rasa senang yang pernah ada. Terlihat bodoh sekali. Dunia terasa sempit bagai daun kelor. Pekerjaan yang ada di bumi ini sepertinya hanya bernafas, menangis, melamun dan memeikirkan dia. Tidak ada waktu untuk mengerjakan hal lainnya. Diibaratkan sebagai penyakit, mungkin sudah akut dan tak ada harapan untuk hidup lagi.
            “Kalau kamu jadi pergi ninggalin aku, aku akan terus nungguin kamu sampe kapanpun.” Perkataan yang tak mungkin bisa kulupakan, sebab kalimat itu selalu terngiang di telingaku selama nafas selalu berhembus.
            “Masak sih? Apa yang gak mungkin terjadi di bumi ini? Perasaan sewaktu-waktu bisa berubah, Ram. Apalagi, kalau nanti aku benar-benar bakalan ninggalin kamu. Gak ada yang tahu dan juga gak ada yang bisa melarang. Termasuk aku, aku gak bisa berbuat apa-apa seandainya hal itu terjadi.” Rasanya, sangat tidak mungkin. Kepercayaanku padanya pun tak timbul sebegitu mudahnya. Kalau wanita mungkin bisa untuk setia, karena mereka mementingkan perasaan dan emosional dibangdingkan ara lelaki yang mudah saja melakukan apa yang ia mau dengan fikiran dan kelogisan.
            Janji bukan jaminan, bukan kalimat yang bisa membuatku terbang melayang. Tapi, aku wanita yang membutuhkan kesungguhan. Jikalau dia tak berkata seperti itu sebelum aku pergi, sungguh aku tak mengapa.
            “Percaya deh, aku janji kok.”
            “Aku percaya kamu bisa untuk saat ini, tapi aku gak bisa percaya untuk ke depannya.”
            “Kapan sih aku pernah bohong sama kamu?”
            “Kapan? Kalau soal itu aku gak tahu, urusan hablumminallah dan hablumminannas biarlah jadi rahasia masing-masing. Sekarang, gini aja deh. Kalau aku kasih kepercayaanku sama kamu, apa yang akan kamu lakukan?” bukan maksudku untuk mengintrogasi atau sok acuh terhadap masalah ini. Aku ini wanita sensitif dengan soal perasaan, makanya aku sangat berhati-hati.
            “Aku akan setia sama kamu, aku akan nunggu kamu sampe kamu kembali lagi.”
            “Kalau aku pulang dua puluh tahun ke depan, apa kamu terus nunggu aku?”
            “Mmm..” nampaknya dia bingung dan tengah berfikir. “Iya, aku akan terus nunggu kamu.”
            “Terus, kalau ternyata aku gak akan balik lagi. Gimana?”
            “Mm..” kedua kalinya ia berfikir. “Kok kamu ngomongnya gitu sih?” dia bangkit di tengah duduknya. “Apa kamu mau mutusin hubungan kita sampai disini?”
            “Hubungan? Tuhan akan memutuskan nikmatku bila aku melakukannya, Ram. Ambil kembali janjimu. Aku hanya butuh kesungguhan.” aku rasa dua kalimatku terakhir bisa membuatnya mengerti. “Sebentar lagi, pesawatnya akan berangkat. Jaga dirimu baik-baik, Ram. Assalamu’alaikum.” Perlahan aku melangkah menjauh.
            “Wa’alaikum salam.” Dia masih termenung menunduk. “Aku akan jaga diriku baik-baik. Cepatlah kembali dan temui aku, Al!!” serunya setelah aku mulai memasuki pesawat. Kulambaikan tanganku dari balik jendela. Tergores seberkas senyum di wajahnya. Buktikan kesungguhanmu saat aku jauh disana.

*******

            Aku terus berfikir, bagaimana nian cara untuk membuktikan kesetiaanku pada Alya. Dua puluh tahun? Atau tidak sama sekali. Lalu bagaimana nasibku? “Wanita itu, sungguh mengagumkan.”
            “Ram, gimana Alya?” untung saja ada Radi, setidaknya aku data bertukar pikiran.
            “Alya udah berangkat.”
            “Jangan murung-murunglah.”
            “Gimana gak murung? Dia memang mengagumkan, gak ada duanya. Gue bilang gue bakalan nungguin dia sampe dia balik.”
            “Terus? Dia senyum? Apa responnya?”
            “Iya, dia senyum dan bilang gue disuruh ambil janji gue dan ngasih gue pertanyaan yang cukup bikin kepala dan hati gue saling bertolak belakang. Dia cuma butuh kesungguhan gue.”
            “Loe bilang apa?”
            “Gue coba.”
            “Semoga berhasil, sob.” Tepukan keras mendarat dipundakku.
Detik berjalan menit, menit berjalan jam, jam berjalan hari dan seterusnya. Kurang lebih sudah tiga bulan sejak Alya pergi, namun rasanya sudah setahun. Fikiranku untuk membuktikannya pun tak  pernah henti. Cepatlah kembali, Al..
“Daripada loe masih mikirin Alya yang gak tau juga kejelasannya, mendingan loe ikut gue. Gue kenalin sama ukhti yang lain. Lebih cantik dan lebih baik daripada Alya.”
“Gak deh. Gue masih ada tugas.”
“Tugas? Tugas apaan? Tugas buat ngebuktiin kesungguhan loe? Hari gini masih ngandelin kesetiaan? Gak jamannya lagi, kita tuh laki, ada gak sih cowok digantungin cewek?!”
Hatiku semakin gundah gulana, sebagian ruang dihatiku setuju dan sebagian lagi menolaknya mentah-mentah. Batinku terus bergulat dengan nafsu dan ajakan Radi. Apalagi semenjak saat itu, aku lebih menutup diriku untuk lebih dekat berteman dengan kawan perempuan. Terkadang aku berfikir tentang perkataannya waktu itu. Menutup atau tepatnya mengurung diri dengan melakukan hal positif dan banyak belajar untuk semester akhir. Tuhan, angin, matahari, bintang dan bulan.. jadilah saksi untuk penantian.
Wisuda dan kerja menjadi fikiranku yang kedua. Mencari tempat sesuai jurusan dan keterampilan. Alhamdulillah, aku mendapatkannya. Guru di salah satu sekolah Islam Terpadu. Mengajar sambil menatapi mereka belajar, rasanya aku ingin cepat meneruskan masa depan. Kubuka tanggalan kecil, tak terasa sudah lima tahun berpisah dengan Alya. Namun, menakjubkan aku bisa menepati janjiku padanya. Masihkah lama waktuku untuk menanti, Tuhan?
Saatnya kembali. Assalamu’alaikum Indonesia.
Kulihat tulisan terakhirnya di hari ini. Hatiku membuncah, rasaku baru saja aku mengeluh. Namun, Allah tak membiarkan aku terus sedih. Kapan di sampai? Terus kubaca komentarnya dan aku dapatkan. Aku pergi secepat yang kubisa untuk tak terlambat menjemputnya di bandara. Aku ingin menjadi orang ertama yang menyambut kembali kedatangannya. Dapat dibilang juga aku telah melanggar tata lalu lintas, tapi tolong ini sekali saja kulakukan. Kuparkirkan mobil dan langsung berlari mencari-cari di tengah keramaian orang berlalu-lalang. Hingga akhirnya tepat di depan pandangan mata, Alya kembali lagi.     “Al..” ada seorang laki-laki menghampirinya. “..ya.” Aku tak bisa berfikir apa-apa, semuanya kosong. Untuk berkata pun aku tak bisa. Yang jelas aku kecewa. Kutinggalkan dia dari pandanganku. Segera aku pergi dan untuk yang kedua kalinya aku melanggar lalu lintas. Turun di pinggiran jalan dan meutup mobil sekerasnya.
“Tuhan!!! Mengapa kau biarkan aku kecewa? Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menghadapi ujian seberat ini. Aku berusaha meneati janjiku padanya. Tapi inikah balasan yang telah Kau takdirkan untukku? Alya!!!!!”

*******

Apa kamu masih nunggu aku, Ram?  Kalimat dari mimpiku semalam. Rasanya hatiku semakin tak kuat bila aku tak bertindak apa-apa. Kuarahkan mobilku ke tempat itu. Bila saja Alya datang kesana.
Aku terus duduk dan sepulangan Alya pun aku terus menanti. Sampai aku teringat ucaannya ‘apa yang tidak mungkin. Perasaan bisa berubah sewaktu-waktu’.
“Apakah perasaannya juga sudah berubah terhadapku?”
“Tidak semudah itu, Ram. Wanita itu lebih mementingkan perasaan dari kelogisan pikiran. Apa kamu sudah membuktikan kesungguhanmu?” dia datang dan menjawab pertanyaanku.
Kubuka dompetku dan memberikan kartu identitasku. “Untuk apa?”
“Lihat, statusnya. Sampai sekarang aku terus menunggu. Aku berusaha menepati kesungguhan dan janjiku. Tapi alangkah disayangkan, ternyata penantianku ini sia-sia saja.” Kuambil lagi kertu identitasku.
“Maksud kamu apa, Ram?”
“Alya!” seru seseorang dari dalam. Dan aku ingat, dia yang mebuat aku kecewa.
“Aku rasa sudah jelas, Al. Perkataanmu benar, apa yang tidak mungkin dan perasaan seseorang dapat berubah. Maka tak ada lagi yang dapat aku lakukan. Terima kasih karena kamu sudah mengajarkan bagaimana caranya untuk menjadi laki-laki sejati dengan kesungguhan. Bukan sekadar janji.” Aku berdiri dan melangkah pergi. Kuhentikan saja semuanya, daripada aku semakin menderita.
“Dia sepupuku, Ram. Hanya untuk beberapa waktu tinggal dirumahku. Aku pun berterima kasih atas kesungguhanmu. Tapi, aku tetap wanita, mengutamakan perasaan.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar