Say What Do You Feel Now!!!

Rabu, 22 Agustus 2012

Ajakan Dari Gunung Merapi


Ajakan Dari Gunung Merapi


            Pagi ini hari terasa dingin sekali. Sebab hujan yang mengguyur deras permukaan tanah merah. Namun, tak ada alasan untuk tidak datang ke kelurahan tempat aku bekerja. Kalau baru seminggu sudah malas-malasan, bagaimana ke depannya? Bisa dipecat atasan aku! Membuka almari peninggalan almarhum Bapak dan almarhumah Ibu. Mengambil baju hangat dan melepaskan gantungannya.
            Blak. Kututup, namun masih enggan merapat juga pintu ini. Kreeek. Merapatkan papan yang saling bergesekan. Sudah lama sekali. Mengunci pintu rumah dengan gembok. Mulai melangkah. Tanah merah ini semakin liat. Becek dimana-mana. Belum lagi kubangan air yang menghiasi tiap-tiap jalan. Kuangkat celana seragamku setinggi lutut. Mulai berjinjit jalanku.
            “Semalam Ibu Ratih dengar tidak?”
            “Dengar apa. Bu Tatik?” obrolan ibu-ibu rumah tangga. Padahal hari masih pagi sekali. Mungkin sekalian berbelanja sambil cerita.
            “Dika tertawa-tawa sendirian. Mengaku bahwa dia sedang menjadi Raja.” Matanya melotot. Untung saja tidak sampai keluar.
            “Masak sih.” Menunjukkan sayurnya. Tak banyak yang kudengar. Lebih baik kulanjutkan langkahku agar tidak terlambat. Banyak berharap juga bisa menjadi pegawai teladan.
            Masih dengan mengangkat span dengan kaos kaki hitam yang menutupi betis. Tiba-tiba lewat sebuah mobil merah kencang sekali. Menerbangkan percikan air ke udara dan menjatuhkannya ke arahku.
            “Astaghfirullahal ‘adzim.” Mengusap wajahku yang juga ikut basah, sama seperti seragamku, basah. Lebih berhari-hati lagi jalanku. Berhenti di sebuah gubuk tempat pemberhentian angkutan desa. Mengulurkan lengan kananku ke depan dan menggerak-gerakkan jemariku. Meminta sebuah mobil bak untuk berhenti.
            “Balai desa, Pak?” memiringkin posisiku ke arah jendela mobilnya.
            “Naiklah.” Kepalanya menunjuk ke arah belakang. Tak membuang-buang waktu lagi, langsung saja aku naik. Berbincang sedikit dengan Bapak itu. Tak lama kemudian, aku turun di depan pagar balai desa.
            “Terima kasih banyak, Pak.” Kutunudukkan kepalaku sebagai penghormatan dan ucapan terima kasih. Memasuki balai desa. Sudah ramai pegawai di sana. Melihat ke arah jarum jam, menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh.
            “Alhamdulillah, tidak terlambat.” Meletakkan tasku di atas meja. Mulai menghidupkan komputer. Terdengar lagi celotehan yang baru saja dibicarakan oleh ibu-ibu pembeli sayur Mang Iin tadi.
            “Dika yang anak mantan lurah itu loh! Dia berteriak-teriak. Tertawa sendiri sambil memegang sebilah tongkat bambu.” Matanya menjelit seram.
            “Kamu percaya tidak, Rama?” pertanyaan itu terlontar kepadaku dari Mbak Lisa. Seniorku.
            “Iya, kamu kan pintar agama, Rama. Ajari kami toh. Apalagi hal ini telah geger dimana-mana.” Timpal Mbak Rika.
            “Ah, Mbak ini bisa saja. Kalau saya sendiri baru tahu kabar ini. Sebaiknya kita selidiki dulu sebelum percaya kan, Mbak? Mungkin saja ada sebabnya mengapa Dika seperti itu.” Ujarku sambil membuka sebuah map besar. Berat sekali. Buk. Debu berterbangan kemana-mana.
            “Tapi, Dika sendiri yang bilang kalau dia itu Raja. Dia tinggal di kerajaan besar. Banyak permaisuri disana.” Menunjukkan jari telunjuknya.
            “Sananya itu dimana, Mbak? Hem, kalau saya sih tidak percaya sebelum saya melihat sendiri.” Ucap Pak Tomo. Agak angkuh nadanya. Membuat mimik Mbak Lisa dan juga Mbak Rika menjadi berubah.
            “Ih, siapa coba yang ngajak ngomong dia. Sombong sekali. Kalu sudah kualat, baru tahu rasa dia.” Ucap Mbak Rika kesal sambil berbisik kepada Mbak Lisa.
            “Biarlah, Mbak. Kita diciptakan Tuhan dengan dua telinga untuk mendengar dan sepasang bibir untuk mengucap. Jadi mengapa tak digunakan?” keadaan semakin memanas. Ternyata Pak Tomo mendengar bisikan Mbak Rika. Mereka hanya diam tak keenakan.
            Tak lama kemudian ada seorang wanita tua. Dia warga yang pertama datang ke balai desa hari ini. “Permisi.” Ucapnya sambil merunduk.
            “Ada yang bisa kami bantu, Bu?” jawab Pak Tomo mendahului pegawai-pegawai yang lain.
            “Mau perpanjang KTP. Ada Mas Rama?” matanya celingak-celinguk ke kiri dan kanan mencariku.
            “Saya, Bu.” Mulai saja kubantu Ibu tua itu. Berjalan mendengkluk sekali.
            “Kurang lebih seminggu lagi, ibu bisa mengambil kartu tanda penduduk yang baru.” Memberikan lampirannya.
            “Terima kasih.” Mendorong kursinya ke belakang. Berpapasan dengan seorang bapak-bapak. Mungkin kerabatnya. Begitu akrab dia berbincang di depan pintu balai. “Pak Sardika hendak mengurus apa kemari?”
            “Ini, KTP.” Menunjukkan sehelai kertas kaku di tangannya. Nampaknya banyak warga desa yang telah habis masa KTPnya.
            “Itu, Pak. Dengan pegawai yang namanaya Rama saja. Lebih cepat, tidak mahal pula.” Menunjukku. Mata Pak Tomo semakin menjelitiku. Seperti kesal sekali.
            “Oh, terima kasih. Mari.” Bapak itu memasuki ruangan balai dan menghampiri mejaku yang bertuliskan ‘Rama Sudiratno’. Sepertinya, tugasku bakala menumpuk hari ini. Semoga saja, agar semangat bekerjaku semakin bertambah.
            Tak terasa sudah pukul dua belas. Waktunya makan siang. Berjalan ke arah kedai makanan yang sudah menjadi langganan selama seminggu ini. Ramai oleh pegawai yang lain. Berdominan wanita.
            “Merinding mendengar ceritanya Mbak Rika. Apa benar, anak mantan lurah kita di ajak ke kaki gunung?” celotehan ketiga kali tentang Dika, anak mantan lurah. Lama-kelamaan fikiran itu juga mulai terbayang di benakku.
            “Gunung mana sih? Gunung sampah yang tak pernah dibakar itu atau memang Gunung Merapi?” ujar Mike, pegawai baru.
            “Ya Merapilah. Masak gunung sampah itu. Lagian sampah itu sudah dikeruk lusa kemarin. Tidak menggunung lagi.”
            “Oh, maklum. Saya jarang melalui jalan itu lagi.” Menghentikan pembicaraannya sejenak untuk mengambil pentol bakso dari mangkuknya.
            “Mas ini hendak memesan apa toh?” Tanya pemilik kedai.
            “Saya bakso saja semangkuk dengan es teh , Bu.”
            “Baik.” Menaruh lap tangan ke pundaknya.
            “Memang, siapa yang mengajak si Dika itu?” meneruskan perbincangannya setelah melahap satu pentol baksonya.
            “Entahlah. Tapi ada yang bilang, Dika menikuti suara seohrang wanita.”
            “Ini, Mas.”
            “Terima kasih, Bu.” Tunggu apa lagi? Langsung saja kuaduk campuran kuah dengan sambal dan kecap. Mulai menyantapnya tanpa mendengarkan celotehan tentang si Dika, anak mantan lurah itu.
            “Srrruuuupppp. Alhamdulillah. Berapa, Bu?” meninggalkan kursi plastik.
            “Tiga ribu. Empat ribu.” Menghitung-hitung.
            “Berapa, Bu?” kuulangi sekali lagi. Masih belum jelas hasil penghitungannya.
            “Empat ribu.” Menuju ke balai desa.
            Lelahnya hari ini. Bersantai sejenak setelah shalat ‘isya. Belum kututp jendela. Masih memberikan kesempatan bagi udara untuk bersirkulasi. Malam ini, desa terasa sepi dan sunyi sekali. Lampu-lampu jalan sudah mati. Yang ada hanya lampu templok yang dipasang di setiap pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Pagar kayu setinggi satu meter pun sudah tertutup rapat. Hanya bilik bambuku saja yang jendelanya masih terbuka. Menatap langit yang tak satupun dihiasi bintang. Benar-benar kelam malam ini.
Menatap langit sambil berbaring di atas sehelai tikar dengan sarong baralur lurik yang menyelimuti tubuhku. Angin menerpa pintu jendela yang terbuat dari kayu serut. Ngiiiik. Mengilukan sekali bunyinya. Cukup kencang dan merasuk hingga ke tulang. Kuusap lenganku. Terasa bulu roma berdiri semua. Menimpa dengan kepala kedua tanganku yang kugunakan sebagai bantal. Sekilas teringat lagi tiga kali celotehan tentang Dika. Apa iya ajakan itu memang benar? Percaya tak percaya.
“Tolong! Tolong!” tiba-tiba suara seorang wanita yang menjerit meminta tolong membangkitkanku dari posisi berbaring. Langsung kubuka pintu rumahku dan berlari ke arah suara itu berasal.
“Siapa disana?” mataku melirik ke jalan setapak penuh ilalang. Masih belum kutemukan wanita itu.
“Tolong! Tolong saya. Saya disini.” Makin dekat saja suara itu. Penasaran menggentayangiku. Kususuri jalan setapak itu. Dengan sangat hati-hati kuinjak ilalang yang sangat tinggi. Tiba-tibu, bruk. Aku masuk dalam sebuah lubang dalam. Banyak bidadari disana. Ada sebuah istana megah. Dan aku duduk di singgasananya. Memakai mahkota dan sebuah tongkat. Akulah Raja. Namun sesaat kusadari. “Astaghfirullahal ‘adzim.” Mata hatiku terbuka. Ini bukan istana, tapi ini goa. Gelap sekali. Rasa takut pun menghantuiku. Tongkat dan mahkotaku ternyata hanya lilitan ular. Kulepaskan ia dari tubuhku. Lidahnya menjulur. Ada sosok wanita berjubah putih.
“Siapa kamu?” kudekati orang itu dengan mengucap istighfar tiada henti. Melangkah takut-takut. Kutepak pipiku. Semakin jelas wanita itu. Rambutnya hitam panjang dan berbalik ke belakang. “Maaf, Mbak ini siapa?” tanyaku sekali lagi. Bulu roma serasa berdiri tegak bagai antena.
“Tolong saya. Saya adalah korban tabrak lari oleh seorang pemuda. Dia menabrak saya tanpa bertanggung jawab.” Ia menangis. Masih enggan memperlihatkan wajahnya.
“Siapa nama pemuda itu?” tanyaku sambil mendekatinya lagi. Lebih dekat lagi.
“Pemuda itu bernama Dika. Dia membuang saya di tepi sungai kecil. Tolong saya.” Wanita itu menghilang.
“Rama! Rama!” teriakkan warga semakin membuka mata hatiku.
“Tadi kau melihatnya kesini atau hanya bayanganmu saja, Rio?” bentak seorang Bapak.
“Saya tidak bohong, Pak. Saya melihat Rama ke arah sini.”
“Saya disini!” teriakku dari bawah mereka. Membuat lingkaran dari jemari, agar suara dapat tertuju ke mereka dan tak terbawa angin malam.
“Itu Rama.” Rio menunjukku. “Hendak apa kamu disana, Rama. Ayo naik, Ram.” Mengulurkan tangannya. Kugenggam tangannya. Menaikki tanah terjal dengan sela-sela lubang. Berhasil juga sampai ke atas.
“Mari bawa dia ke rumah saya.” Ujar Pak Gono. Ketua RT setempat. Rombongan warga itupun kembali ke rumah Pak RT. Disuguhkan segelas air tawar. Menyuruhku untuk meminumnya.
“Apa yang Nak Rama lakukan di bawah sana?” kakinya bersila rapi. Menanyakanku dengan tenang.
“Sebelumnya, saya hendak meminta maaf kepada bapak-bapak. Saya telah mengganggu malam tenang bapak. Tadi setelah selesai shalat ‘isya, saya mendengar seorang wanita meminta tolong. Saya ikuti asal suara itu. Sampai akhirnya saya ikuti sampai ke dalam kebun milik Pak Amo. Dan saya masuk ke suah lubang. Saya melihat ada istana megah disana. Banyak bidadari. Dan saya duduk disinggahsananya memakai sebuah mahkota dan tongkat. Namun, Allah masih mengizinkan saya untuk sadar bahwa itu hanya efek dari fikiran saya yang sedang kosong. Istana itu adalah goa, dan mahkota serta tongkat itu adalah lilitan ular. Setelah itu..” pembicaraanku terhenti.
“Nak Rama, kamu ini anak yang dipandang di kampung ini. Dari Ayah hingga Ibumu, mereka adalah orang terpandang. Jangan kau coreng nama mereka dengan khayalan belakamu.” Cetus Pak Amo.
“Saya tidak bohong, Pak Amo. Ini sungguh benar adanya. Setelah itu, saya lihat ada seorang wanita yang tadi memminta tolong. Saya dekati wanita itu. Bertanya apa yang bisa saya bantu. Dia menjawab, bahwa dia adalah korban tabrak lari dari Dika, anak mantan lurah. Dia meminta tolong untuk dikuburkan jasadnya yang dibuang oleh Dika di tepi sungai.” Langsung saja kuselesaikan kalimatku agar tak ada kesalahpahaman lagi.
“Baiklah, keterangan ini saya terima. Besok pagi diharapkan bapap-bapak sekalian turut membantu penguburan wanita itu jika memang benar adanya. Tetapi jika tidak ada bukti tentang keterangan Nak Rama, maka Nak Rama harus menerima hukuman. Sekarang semuanya boleh bubar.” Satu per satu warga keluar dari pekarangan rumah Pak Gino. Mengangkat sarungnya tinggi-tinggi.
“Apa benar apa yang dikatakan oleh Rama? Apa dia stress sebab ilmu agamanya terlalu tinggi?” lagi-lagi celotehan yang belum percaya sampai ke telingaku. Tak kuhiraukan mereka. Mataku pun sudah ngantuk. Berjalan tegap ke rumah, mengunci pintu dan jendela. Menarik sarung dan mulai memejamkan mata. Sedikit tak menyangka, bahwa celotehan pegawai balai tadi kualami.
Dur.. dur.. dur.. “Rama! Assalamu’alaikum, Rama!” rasanya hanya sekejap kupejamkan mata. Ternyata pagi telah menyambut. Termasuk warga.
“Wa’alaikum salam.”
“Mari kita ke tepi sungai untuk membuktikan omonganmu.”
“Baiklah. Silakan tunggu sebentar.” Mandi sebentar dan langsung berangkat ke tepian sungai. Ada yang membawa arit, parang dan perkakas tajam lainnya. Bersiap untuk menebang alang-alang tinggi.
“Mana, Rama? Wanita yang kau sebutkan!” dari semalam Pak Amo sangat tidak senang dengan pernyataanku. Aku hanya diam. Baru sadar mengapa langsung percaya dengan kejadian itu.
“Astaghfirullahal ‘adzim!” jerit Rio.
“Ada apa kau ini, Rio? Awak lelaki, tapi penakut.” Emosinya semakin tinggi. Semua warga menuju tunjukkan jari Rio.
“Ada mayat wanita, Pak.”
“Bawa dia. Ayo cepat.” Termasuk diriku. Langsung membawanya ke langgar. Sepertinya bukan gadis dari desa kami. Pagi itu langsung di kubur. Terasa lega diriku. Karena apa yang kubicarakan dapat dipertanggung jawabkan.
“Nak Rama, Bapak selaku RT di desa ini, ingin berterima kasih serta meminta maaf atas tuduhan yang telah dilontarkan. Sekali lagi, terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
“Terima kasih, Rama.” Tiba-tiba saja ada bisikkan di telinga kiriku. Membuat bulu roma kembali tegak.

S E L E S A I















Tidak ada komentar:

Posting Komentar