Say What Do You Feel Now!!!

Selasa, 27 November 2012

Share

Aku pernah baca, bahwa individu dalam satu jenis yang memiliki ribuan faktor genetika yang sama tetap akan terlihat sebuah perbedaan pada individu itu karena beberapa faktor genetika yang berbeda. Aku mengerti. namun aku tak mengerti, faktor genetik yang jelas banyak perbedaannya, tempat tinggalnya, lingkungannya dan sebagainya tetapi 'persis sama' menjadi ungkapan yang tepat untuk kakak kelasku dan somebody at last moment in my life. Itulah kebesaran Allah yang nyata kulihat di hari-hariku yang selalu membuat aku bahagia, bersyukur dan terluka. tak banyak yang kupinta, Pilihkanlah jalan yang terbaik, jalan lurus untukku.

Sir Alen Aliska - Guru Pencakar Cakrawala

It's all about him, Sir Alen Aliska, Sir Alen. Guru penyandang Award Guru Dengan Wawasan Luas. Beliau adalah seorang waka kurikulum di SMA NEGERI 3 PRABUMULIH, guru bahasa inggris dan pembina KIR kelas sepuluh. Sebelumnya beliau adalah seorang dosen di salah satu fakultas yang menemukannya dengan seorang wanita cantik yang mana kini telah memberinya tiga orang anak, Mrs. Widya Efni yang juga seorang guru bahasa Inggris dan bahasa indonesia di sekolah kami. Lembah, ngarai, gunung, bukit, palung, asam, basa, manis, pahit, asin dan segala macam rasa telah beliau cicipi. pengalaman yang menkajubkan membuat kami menjadi takluk dan ingin mengerjakan segala yang ia nasihati di kehidupan sehari-hari. sekali Sir Alen menyampaikan materi dengan pengembangan yang begitu luasnya, rasanya aku tak ingin waktu cepat berlalu. biarlah seharian ini untuk pelajaran Sir Alen saja. 
Jika kamu bertemu dengan beliau untuk yang pertama kalinya, jangan heran bila kamu sama sekali tak mengerti maksud pemikirannya, namun jika kamu memahami penjelasannya itulah yang kusebut dengan Pencakar Wawasan Cakrawala. salah satunya beliau pernah mengatakan bahwa orang pintar berbeda dengan orang cerdas. orang pintar hanya menyerap apa yang ia peroleh sedangkan orang cerdas dapat menyerap sekaligus mengembangkan apa yang ia peroleh dan menghasilkan dalam bentuk pertanyaan- pertanyaan yang kemudian dapat terselesaikan. Beliau berkata bahwa pertanyaan-pertanyaan itu ialah bintang yang mengelilingi orang cerdas (kalau aku dulu mengartikannya orang keleyengan gak bisa nyelesain soal) lalu melanjutkan dari setiap pertanyaan itu ia berfikir apa jawabannya yang akan mengisi setiap ruang di otaknya begitu seterusnya hingga bintang-bintang itu habis dan memadati seluruh ruang dari otaknya, sehingga bersinarlah bintang yang menandakan ia telah menyelesaikan suattu masalahnya. dan WAAAAAAWWWW!!!!!!!! aku sungguh terkesima. Semoga di Award tahun ini pun seperti itu. selamat bertemu dengan Sir Alen, yah

Sabtu, 17 November 2012

Lirik lagu fox rain


사랑을 아직  몰라서
sarangeul ajik nan mollaseo
더는 가까이 못가요
deoneun gakkai motgayo
근데  자꾸만 못난  심장은
geunde wae jakkuman motnan nae simjangeun
두근거리나요
Dugeungeorinayo

 당신이 자꾸만 밟혀서
nan dangsini jakkuman barphyeoseo
그냥  수도 없네요
geunyang gal sudo eomneyo
이루어질   없는  사랑에
irueojil su do eomneun i sarange
 맘이 너무 아파요
nae mami neomu apayo

하루가 가고 밤이 오면
haruga gago bami omyeon
 온통 당신 생각뿐이죠
nan ontong dangsin saenggakppunijyo
한심스럽고 바보 같은 
hansimseureopgo babo gateun nal
어떻게 해야 좋을까요
eotteoke haeya joheulkkayo

마음이 사랑을 따르니
maeumi sarangeul ttareuni
내가    있나요
naega mwol hal su innayo
이루어질 수도 없는  사랑에
irueojil sudo eomneun i sarange
 맘이 너무 아파요
nae mami neomu apayo
Dubirubiruraffa
Dubirubiruraffa
Dubirubiru dubirubiru
dubirubiruraffa

Dubirubiruraffa
Dubirubiruraffa
Dubirubiru dubirubiru...~

하루가 가고 밤이 오면
haruga gago bami omyeon
 온통 당신 생각뿐이죠
nan ontong dangsin saenggakppunijyo
한심스럽고 바보 같은 
hansimseureopgo babo gateun nal
어떻게 해야 하나요
eotteoke haeya hanayo

 아픔이 무뎌져 버릴 날이
nae apeumi mudyeojyeo beoril nari
언제쯤 내게 오긴 할까요
eonjejjeum naege ogin halkkayo
한심스럽고 바보 같은 
hansimseureopgo babo gateun nal
어떡해 하란 말인가요
eotteokhae haran maringayo

달빛이 너무나 좋아서
dalbichi neomuna johaseo
그냥  수가 없네요
geunyang gal suga eomneyo
당신 곁에 잠시 누워 있을게요
dangsin gyeote jamsi nuwo isseulgeyo
잠시만 아주 잠시만
jamsiman aju jamsiman
[x8]
Dubirubiruraffa
Dubirubiruraffa
Dubirubiru dubirubiru
dubirubiruraffa..~

Rabu, 07 November 2012

Sinopsis Can You Hear My Heart?


Can You Hear My Heart.jpg
Can You Hear My Heart? (내 마음이 들리니 Rom:Nae Maeumi Deulrini) adalah drama Romantis Korea Selatan yang disiarkan olehMBC pada tahun 2011

Pemeran utama

[sunting]Pemain Pendukung

Jung Bo Suk sebagai Bong Young Kyu

Cha Dong-ju yang merupakan pewaris konglomerasi WK Group kini telah dewasa, namun kehilangan pendengarannya lantaran perbuatan ayah tirinya, Choi Jin-chul (Song Seung-hwan). Ia berusaha keras untuk menyembunyikan disabilitasnya dengan tampil seolah-olah punya pendengaran normal. Walaupun begitu dengan ketunarunguan dan penderitaannya yang disebabkan ayah tirinya, Dong-ju tetap optimis dan tidak tertutup.
Sedangkan Bong Woo-ri yang merupakan wanita muda cerdas namun berpura-pura bodoh karena benar-benar sayang dan berusaha melindungi harga diri ayahnya, Bong Young-kyu (Jung Bo-suk) yang penderita keterbelakangan mental. Woo-ri dan ayahnya berusaha mencari abang tirinya, Bong Ma-roo yang telah lari dari rumah sejak 16 tahun lalu.
Padahal Ma-roo sebenarnya dibawa oleh ibu Dong-ju ke Amerika bersama Dong-ju 16 tahun lalu. Rupanya ibu Dong-ju balas dendam kepada suaminya lantaran Ma-roo sebenarnya anak hasil hubungan gelap suaminya, Jin-chul dengan sekretarisnya, Shin Ae yang tidak lain saudara dari Young-kyu. Ma-roo menuruti kemauan Ibu Dong-ju lantaran meminta ibu Dong-ju agar membebaskan ayah tirinya itu dari penjara gara-gara ulah Jin-chul.
Dong-ju maupun Ma-roo yang kini bernama Jang Joon-ha kembali muncul dalam kehidupan Woo-ri dan keluarganya. Dong-ju yang ingat sahabat masa kecilnya, Woo-ri dan juga kasihan pada keluarga Bong yang miskin sehingga memberikan kembali pekerjaan kepada ayah Woo-ri sebagai pekerja kebun rumah Dong-ju. Hubungan Dong-ju dan Woo-ri makin dekat dan begitu pula Joon-ha yang berusaha menjaga Woo-ri lantaran tahu Woo-ri itu adik tirinya. Tetapi Joon-ha malah tidak suka kedekatan Woo-ri dengan Dong-ju.
Can You Hear My Heart.jpg













[sunting]

Selasa, 06 November 2012


Ranomi Kromowidjojo juarai 100m gaya bebas


Perenang Belanda Ranomi Kromowidjojo usai menjuarai nomor bergengsi 100m gaya bebas putri pada Olimpiade London 2012 (Reuters)


Irene


Irene

            Bagaimana bisa aku menerima kenyataan ini? Bagaimana bisa aku merelakan dan mengikhlaskan keadaan ini? Hatiku teriris. Sungguh, aku terluka. Jika ada tempat persembunyian, jika ada tempat pelarian, aku akan menjerit sepuasnya. Aku akan menjerit sekencangnya, hingga udara membawanya pergi bersama rasa sakitku ini. Dan agar kau tahu, betapa pilu hatiku.

            Sebuah janji yang telah kubuat dengannya enam tahun yang lalu, sebelum aku pergi meninggalkan dia seorang diri. Namun janganlah khawatir, karena sampai saat ini masih kupegang erat janjiku. Di tempat ini aku bertemu, di tempat ini aku menghabiskan waktu. Waktu dengannya, dengan segala asa, dengan segala warna. Dan di tempat ini pula kami berpisah, menggores seberkas kenangan, melukis segaris harapan, “kita akan bertemu enam tahun ke depan”. Di tempat ini, kakiku berpijak kembali. Setelah enam tahun berpisah, kucoba tuk tepati janjiku padamu. Janji kita di Taman Alamanda.
            Taman Alamanda. 7 Mei 2010 jam 09.00 pagi. Temui aku, karena aku kembali
            Kukirimkan pesan singkat padanya. Semoga dia ingat, bahwa ini janji kami. Baru jam 07.00 pagi tadi aku sampai kembali di Bandung, Kota Kenangan. Aku menunggunya di tempat ini. Kuperhatikan perubahannya. Tidak banyak yang berbeda setelah enam tahun kutinggalkan. Detik arloji terus berputar, namun Dana belum juga sampai. Pikiranku mulai menghela-hela. Apakah dia tidak ingat? Apakah sudah ganti nomor? Dan sebagainya. Aku terus menunggu dan menunggu. Waktu sekarang menunjukkan sepuluh tepat. Apa aku akan tetap menunggunya? Ini sudah satu jam. Dan tubuhku juga semakin terasa lelah setelah perjalanan jauh. Terasa sakit hebat di bagian hati.
            Kulihat handphone di tanganku. Belum ada balasan yang masuk.
            Dana, aku di Taman Alamanda. Irene
            Sekali lagi, pesan singkat kuluncurkan. Dan kali ini ada balasannya.
            Tunggu, Ine
            Huh.. perasaanku sedikit lega. Semoga dia datang tepat waktu.
            Setelah lima belas menit, baru ada sebuah mobil yang berhenti.
            “Dana..” seruku dari bangku taman.
            “Ine..”
            “Loh? Gani? Dananya, mana?” aku terpelanga, telunjukku bermain di udara. Terheran aku. kucheck kembali handphoneku. Tapi aneh, benar aku mengirimnya ke Dana. Bukan Gani. Tapi…
            “Mm.. Dana minta Gani temuin Ine. Dia lagi nganterin adiknya ke bandara.” Jawaban yang sebelumnya sama sekali tak terlintas di benakku.
            “Oh..” satu kata, kecewa.
            “Ine, capek gak? Aku mau ajak kamu jalan-jalan.” Sahutnya melepaskan aku dari lelah.
            “Boleh tuh.” Setidaknya rencana yang di luar dugaan ini bisa sedikit mengganti kekecewaanku. “Kemana Dana? Apa dia tidak ingat akan janji itu? Atau?” fikiranku terbang melayang bersama asaku yang terasa terhempaskan. Gerak semu pepohonan di sepanjang jalan mendukung suasana hatiku yang sedang kacau berantakan.
            “Kok ngelamun sih? Mikirin Dana, ya?” ucap Gani menghancurkan lamunanku.
            “Eh.. iya nih. Kok dia gak dateng, ya?”
            “Kan aku udah bilang, dia lagi nganterin adiknya ke bandara.”
            “Adik? Adik yang mana?” aku heran. Adik? Dana kan anak tunggal. Apa saat aku pergi dia ada adik baru? Rasanya tipis kemungkinan.
            “Mm.. adik sepupu.”
            “Serius?” alisku meninggi sebelah menandakan bahwa aku tidak percaya.
            “Seriuslah.” Matanya masih memandang jalanan di depan. “Ine makin cantik aja, ya.”
            “Bisa aja. Karena jarang lihat kali ah. Oh ya, kapan Dana bakalan nemuin aku? Aku di rumah Eyang.” Ternyata aku merasa canggung juga, walaupun Gani kawanku dari kecil.
            “Nanti aku tanyain deh.” Handphonenya bergetar.
            “Siapa? Aku angkat, ya.” kuambil handphonenya di sebelah tuas. “Dana?”
            “Halo! Gani! Bisa tolong jemput Ibu gue nggak, atau Ibunya Rani. Rani kritis sekarang.” Jelas sekali dan tak mungkin aku salah. Ini suara Dana.
            “Dana?” aku terperangah sambil memegang handphone di telingaku.
            “Gani? Ini Gani, kan?” ujarnya di seberang sana. Nampaknya dia sedang panik. Tapi, Rani.. itu siapa? Katanya Dana ke bandara?
            “Ini bukan Gani, ini Ine?” bisikku lemah.
            “Ine? Ine siapa? Mana Gani?”
            “Dana, Irene. Aku Irene, Ine.” Air mataku jatuh. Rasanya hatiku sedikit teriris mendengar nada bicaranya. Dia lupa, dia tidak ingat padaku. Hal yang kutakuti selama ini benar terjadi. Juakah ia lupa akan janjinya?
            “Halo!” Gani merampas telepon genggamnya dariku.
            “Jemput Ibu gue sekarang.”
            “Halo! Mati.” Gani menatapku. “Maaf, Ne. Aku..”
            “Kita jemput Tante Mira.” Tanpa basa-basi. Kali ini aku bukan merasa kecewa lagi, tapi aku sudah mulai muak. Mobil yang kami naikki melesat kencang. Membawaku ke rumah dulu.
            “Ine!”
            “Tante!” Tante Mira memelukku hangat. Ia masih mengenaliku dengan jelas.
            “Apa kabar?”
            “Kabar baik, Tante. Tante, Dana minta Tante datang ke rumah sakit sekarang.” Rasanya ada suatu rahasia yang harus kubongkar dengan kedua tanganku.
            “Kamu sudah bertemu?”
            “Belum.” Serentetan pertanyaan terus berlanjut selama perjalanan.
            “Gimana, Ine udah ada calon belum?”
            “Apa? Calon? Tante nih ada-ada aja deh.” Aku tertawa miris.
            “Loh? Iya donk. Ine kan cantik, pintar, baik. Masak belum ada yang jadiin Ine hak milik?”
            “Kalo itu sih udah ada.”
            “Berarti Ine sama Dana impas, ya. Sama-sama.”
            “Apanya?” aku semakin bingung.
            “Jadi, Ine belum tau. Ine masih sama Dana?”
            “Ya, masihlah, Tante. Cuma jarak gak bakalan bisa mutusin hubungan kami gitu aja. Emang kenapa?” aku terus menggali rahasia ini. Jantungku semakin cepat berdetak. Rasa sakit itu semakin terasa.
            “Nggak, Ne. Tante kira udah ada yang gantiin Dana.”
            “Ya nggaklah. Tante, Rani itu siapa?” lirih sekali mengucap nama wanita itu.
            “Tante mohon, kamu bisa mengerti.”
            “Maksud Tante?” pembicaraan kami terhenti sampai disini. Rumah sakit sudah berada di depan mata.
            “Tante mau ke toilet sebentar.” Wajahnya terlihat sedang berfikir.
            “Sus, pasien Rani di ruang mana, ya?” Gani mendahuluiku.
            “Rani? Kanker, Pak? Ruang 505.”
            “Raine? 505.” Kulihat nama itu di papan belakang perawat. Aku kenal dia, dia kawan less. “Gani, aku mau jenguk kawanku dulu. Dia di rumah sakit ini juga.” Langsung saja kutinggalkan Gani tanpa perasaan. Kususuri petak demi petak lantai yang berbaris rapi. Hingga tepat ruang 505 di hadapku. Ada orangtuanya disana. Aku masih ingat. Dulu, sering sekali aku main ke rumahnya. Mencicipi makanan buatan Ibu Raine.
            “Ibu, masih kenal? Aku Ine, kawan Raine. Gimana keadaannya Raine sekarang?” kusujudi tangannya.
            “Begitulah. Masih drop.” Kutinggikan leherku.
            “Boleh Ine masuk?”
            “Silakan.” Kubuka pintu ruangan.
            “Ya ampun, Rai. Dulu kamu masih baik-baik aja. Sekarang? Penyakit kamu ternyata semakin parah. Kenapa kamu selalu sembunyiin ini?” kupegang tangannya. Dingin sekali. Wajahnya pucat. Kenapa selalu sembunyiin? Bukannya aku pun begitu?!
            “Da.. na..” ia tersadar. “I.. bu..” segera kupanggilkan Ibunya.
            “Alhamdulillah syukur, kamu sudah sadar, Ran. Istirahat dulu, jangan banyak gerak.” Apa? Ran? Rani? Lalu, tadi dia menyebutkan Dana. Apakah Rai yang dimaksud Dana? Raine adalah Rani.
            “Ine kan?” ucapannya masih lemah.
            “Iya, Rai. Kok bisa sih kamu sebegini adanya? Cepet sembuh, ya. Kamu harus sembuh. Nanti kita telusurin lagi jalanan yang dulu pernah kita jelajah. Hehe..”
            “Iya, ya. Janji, ya. Tapi, kita perginya bertiga, ya.” tangannya berusaha mendapatkan tanganku.
            “Siapa satunya?”
            “Dia someone special. Namanya Dana.” Sontak aku terkejut. Darah mengalir deras dari ujung kepala hingga kaki. “Itu dia.” Seorang laki-laki memasuki ruangan. Aku kenal dia, hubunganku dengannya cukup dekat. Dia yang berjanji padaku di Taman Alamanda. Dan, miracle, dia Dana. Milik Raine. Peluh hatiku, teriris, tergores, terluka dan entahlah asaku tak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Mataku mengembang. Aku tak ingin menelan kenyataan, tapi harus kuakui dia memang Dana. Tuhan, enam tahun berlalu dengan kesetiaan. Ternyata ini balasan yang kuterima. Rasanya putus sudah harapanku. Dunia bagaikan berhenti berputar dan aku tak ingin lagi melanjutkan perputarannya.
            “Ine..” matanya membundar setelah ia melihatku.
            Sulit rasanya bibirku tuk berucap walau hanya sekata. “Iya, Dan.”
            “Sejak kapan kamu disini?”
            “Baru saja. Rasanya sekarang, aku harus pulang.”
            “Pulang?”
            “Jadi, kamu udah kenal, ya? Kenapa kamu gak bilang, Ne?”
            “Kenal? Rai atau Rani. Aku pulang dulu, ya. Lain waktu aku pasti kesini lagi.” Kutinggalkan ruangan itu dengan sejuta kehampaan, dengan sejuta kekesalan, kekecewaan, kesedihan dan semuanya yang menyatakan bahwa aku patah hati. Bagaimana aku bisa menerima keadaan ini, Tuhan?
            “Ne, kok pulang?” sapa Gani di tengah jalanku.
            “Udah gak ada lagi yang bisa diharapkan. Besok aku pulang. Aku gak bisa lagi tinggal di Bandung.” Sengaja kuteteskan air mataku. Aku ingin mereka tahu, betapa perih hatiku. Kupanggil taksi. “Taman Alamanda.” Hari yang mendukung. Dikesendirian Taman Alamanda hujan turun menyamarkan air mataku. Biarlah, biar orang tahu. Hatiku hancur.
            “Aaaaaaaaa!!!!!!!! Kamu bohong, Dan. Bohong. Mana janji kamu? Untuk apa lagi aku disini? Ternyata aku adalah orang yang paling bodoh. Mengapa aku senantiasa memegang janjiku dikejauhan yang alhasil ini yang kudapatkan? Mengapa kamu hapus janji kita? Mengapa kamu tinggalin aku? Dia! Raine! Kawanku. Rasakan betapa hancurnya hatiku saat ini. Enam tahun, Dan. Enam tahun. Bukan waktu yang singkat untuk melatih kesetiaan. Kamu negrti gak sih????!!! Aaaaaaaaaaaa.” Kulupakan segalanya. Aku ingin merasakan kelegaan.
            “Ine. Aku minta maaf. Tapi, aku harap kamu ngerti. Bukan karena aku lupain janji kita, bukan juga karena aku gak bisa setia, tapi Rani kritis. Dokter bilang gak akan lama lagi.”
            Aku langsung berbalik arah. Kuhapus air mataku dari pandangannya. “Jadi, aku juga boleh melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi kamu? Apa yang akan kamu lakukan saat itu? Kamu tahu? Duniaku terasa berhenti berputar. Aku menaruh harapan besar untuk kembali ke tempat ini. Dan ternyata, kamu menghempaskan semua harapanku. Apa aku juga harus kritis agar kamu lebih mementingkan aku dari yang lain? Dari janji, dari cinta dan sebagainya. Apa harus begitu, Dan?” aku.. jujur.. atau kelepasan? Sakitku.. semuanya tiba-tiba saja menjadi gelap. Tubuhku terasa lemah.
            Ruangan ini sepertinya aku kenal. Iya, ruangan Rai. Tapi mengapa peralatan ini melekat erat di tubuhku? “Tante..” sulit rasanya.
            “Jangan banyak bergerak. Kamu butuh banyak istirahat. Sudah seminggu kamu disini.”
            “Aku? Seminggu?”
            “Gak main-main. Hati kamu..” ucap Dana di sebelahku.
            “Hatiku? Apa kamu tahu tentang hatiku?”
            “Sakit, Ne.”
            “Memang, sakit sekali hatiku.”
            “Aku serius.”
            “Mm.. Mama keluar dulu, ya.” kami terdiam.
            “Rani, udah pergi.”
            “Pergi? Ya ampun, kenapa aku bodoh banget. Pasti ini gara-gara aku. Gara-gara aku.” hatiku semakin ingin memberontak. Kebodohan dua kali kulakukan. “Ah..” rasa sakit itu kembali kurasakan. Hatiku.. kali ini, benar-benar hati..
            “Sudah, Ne. Sudah. Biarlah Rani tenang. Ini bukan salah kamu. Aku gak mau lagi kehilangan kamu untuk kedua kalinya, Ne. Kamu harus sembuh. Aku akan merangkai harapanmu lagi dan memutar duniamu lagi.” Dia memelukku erat. Menghentikan aku dari rontaanku.
            “Aku sakit, Dan.. sakit sekali.” dibalik rasa sakit ini, ada dua. Hati dan perasaan. Semoga Tuhan memberikanku satu kesempatan lagi untuk memerbaikinya.
           
kah di� s a �" �! . dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
            Kejadian itu yang melatarbelakangi aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan. Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
            Aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka? Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian “sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
            Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat buah buku pelajaran setebal alaihim.
            “Mbak..” sapaku pada kakak kelas. Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang berboncengan.
            “Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan  Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.


*******
            Dari sini kulihat dia berjalan, seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
            Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya, ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam. Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan, sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku. Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
            “Aku percaya, semua masalah Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi, menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
            “Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.” Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
            “Oh ya?” tepat seperti yang kemarin sore.
            Kutetapkan tekad membara. Untuk tak lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
            “Mila?” sapa seseorang yang tengah berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
            “Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa hari lalu telah kuhindari.
            “Dipanggil Bu Lia.” Tangannya menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri. Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
            “Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
            “Setahu Kakak tadi, kamu juga di suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
            “Oh, nggak. Siapa aja yang ikut, Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
            “Kakak yang mengajukan, Mil.” Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku. Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
            Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan. Kata-katanya membuat hatiku teriris.
            “Referensi lain adalah Ratih. Kakak sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
            “Tahu apa, Kak?”
            “Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh.. kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku. Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil mengerjakan setumpukkan soal.
            “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku yang terasa sempit.
            “Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis, justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
            “Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan. Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.” Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang, membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku. Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu. ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas segala nikmat yang Engkau berikan.
            Berkat lomba Sains ini aku kembali. Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
            “Prestasi membanggakan ini tak hanya diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan menjadi kebanggaan tersendiri.
            “Ratih, kamu bilang apa?”
            “Aku? Bilang apa?”
            “Udahlah. Aku!”
            “Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
            “Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
            “Ampun, Mil. Ampun.”
            “Sekarang aku yakin, tak pernah ada yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”

Melangkah Untuk Kembali





Betapa lelahnya mengarungi waktu
Satu hari terasa seminggu
Seminggu terasa setahun
Dan setahun terasa seabad
               
                Namun langkah terlanjur jauh berpijak
                Di atas tanah dan rerumputan hijau
                Mundur! Mundur?
                Hah.. aku tak akan rela

Aku terlanjur payah
Aku terlanjur jauh melangkah
Aku telah di ambang di tengah
Dan tak mungkin kulepaskan begitu saja

                Meski terik semakin menjadi
                 Meski keringat terus mengalir
                Meski linangan terus menderu
                Aku akan terus maju, akan kuhadapi dunia baruku

Tapi… aku terhenti sejenak
Kakiku letih untuk melaju
Mataku terpana diam terpaku
Tubuhku tak bergerak menjadi kaku

                Salahkah apa yang kulihat
                Salahkah apa yang kurasakan
                Salahkah jalan yang kupilih
                Dan salahkah dunia baruku ini

Tiga tahun kau tinggalkanku
Tiga tahun kutinggalkanmu
Jauh terpisah ruang dan waktu
Jungkir balik coba lupakanmu

                Tak ingin lagi kuingat
Tak ingin lagi kukenang
Tak ingin lagi kukembali di saat itu
Dan tak ingin lagi kubersamamu

Sungguh, semua telah cukup
Lama kusetia dengan janjiku
Janjiku tuk tak melupakanmu
Meski ku tak tahu, apakah kau pun begitu

                Kumohon jangan ungkit
                Kenangan itu sungguh pahit
                Dimana duniaku terasa sempit
                Dengan aku yang selalu terhimpit

Biarlah Tuhan.. biarkanlah
Aku ikhlas dia telah pergi
Pergi jauh dari hidupku
Dan biarkan aku pun terbebas darinya

                Aku tak ingin terkekang
                Benakku selalu membayang
                Wajahnya selalu terkenang
                Seolah di depan pandang

Aku tak percaya
Aku tak yakin
Mengapa wajahnya semakin jelas
Jelas di hadap bola mataku


                Mataku terbelalak
                Aku terperangah
                Tuhan, ku mohon…
                Bangunkan aku dai mimpi buruk ini

BUkan! Ini bukan mimpi!
Mungkinkah dia adalah kamu
Sebagai penggantimu
Dari Tuhan untuk menjagaku di kejauhanmu…


Pahit, manis dan asam
masa yang pernah terlalu menjadi
sebuah kenang










               




Melangkah Untuk Kembali




Mungkin apa yang kulihat dan kurasakan saat ini adalah mimpi. Entah mimpi indah ataukah mimpi buruk bagiku. Sempat aku berfikir, apakah aku lupa membaca do’a sebelum tidurku. Namun, ketika aku mulai terbangun, aku sadar bahwa apa yang kulihat dan  apa yang kurasakan saat ini bukanlah sebuah bunga tidurku. Hal ini adalah kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku dan kehidupan baruku. Aku masih belum yakin dan aku tak percaya. Aku telah mengikhlaskan dia, seseorang yang berharga di masa laluku, setelah tiga tahun berpisah dengannya sejak kepindahan SMP. Untuk menjalin komunikasi seperti dulu pun aku enggan melakukannya. Hal itu hanya akan membuatku rindu masa lalu dan menangis saat mengenangnya. Meski tiga tahun kumenunggu untuk setia kepadamu. Namun akhirnya, kuputuskan tuk akhiri pilihanku ini.
           
            Sore ini pun lagi-lagi aku mendapat giliran pulang yang terakhir. Sekolah hampir sepi. Dari sekian ratus siswa yang studi di SMA ini, tinggal beberapa puluh orang saja yang masih bisa dihitung dengan jari-jariku. Salam-sapa serta klakson turut meramaikan jalan depan sekolah. Kekeluargaan sekolah ini patut kuacungkan jempol. Bukan hanya dua jempol, kalau boleh aku pinjam jempol kalian.
            Sebelum kulangkahkan kakiku keluar dari gerbang sekolah, aku sempat melihat kakak itu berboncengan dengan temannya sambil menenteng-nenteng sepasang sepatu yang ia lepas. Aku tahu ia memperhatikanku hingga benar-benar pulang dengan sebuah kendaraan. Aku tak berbalik arah, sekalipun hanya untuk tersenyum menghormati dia sebagai kakak kelasku. Biarlah biar, aku tak peduli. Aku tak lagi ingin tenggelam dan larut seperti masa itu. Aku tak ingin terulang lagi. Cukup sekali.
            “Jika tak mengharapkan, maka aku tak akan lagi merasa kehilangan.” Ucapku dalam lubuk hati.
Di sepanjang jalan pulang, wajahku mendongak menatap awan senja yang mulai kemerahan setelah di tinggal oleh matahari yang perlahan tenggelam. Hingga tak terasa aku sudah sampai di rumah. Rasa lelah sehabis belajar seharian lamanya tak lagi pernah kurasa. Semua kuhadapi dan kujalani dengan senyuman. Belum lagi tugas yang katanya seabrek-abrek, menurutku itu nggak benar. Sedikitpun, aku jarang mengerjakan tugas sekolah di rumah. Semua tugasku telah selesai sejak di sekolah tadi.
            Kuambil sebuah buku dari rak buku. Kubuka di bagian pertengahannya. Mulai saja jari-jariku lentur menuliskan apa yang ada di fikiranku saat ini.

            Bukan sebuah istana yang megah
            Tangga tersusun menyongsongnya
            Namun berdegup hati nan merah
            Ketika perlahan kubuka mata
Bukan ungkapan cinta sang pujangga
Juga bukan lantunan merdu sang penyair
Hanyalah dia bertegak di depan mata
Membuat tangis bergerak mengalir
           
            Ingin aku berlari
            Menghindari keadaan ini
            Tapi apalah daya dalam diri
            Jika Sang Kuasa tak memberi

Terjadilah apa yang hendak terjadi
Lakukanlah apa yang harus dilakukan
Tapi satu pintaku, Tuhan
Bantuku tuk tegar menghadapi

            Kenyataan ini
            Begitu membuat aku merasa bimbang
            Ragu ku selalu bertanya
            Rasaku kini terulang kembali


            “Wajah yang sama belum tentu sikapnya juga sama. Terutama hatinya..” Lagi-lagi bayangan kakak itu terlintas lagi dalam benakku. Hush.. hush.. pergi. Jangan kemari. Tak ada lagi ruang untuk menampungmu dalam benakku. Sana-sana. Jangan ganggu aku. Dua kata, bebaskan aku.
            Tidur. Satu-satunya cara menghilangkan kepenatan. Mata yang selalu terbelalak membuka di setiap harinya, otak yang selalu bekerja dan fikiran yang diharuskan terbuka luas mencengkeram cakrawala. Dengan berdo’a agar mimpi indah selalu hadir bagai bunga tidurku. Mengucapkan berbagai kata terima kasih atas nikmat hari ini dan berjuta harapan untuk hari esok yang lebih baik lagi. Kututup hari ini bersamaan dengan terpejamnya mataku. Selamat malam, rembulan. Tersenyumlah engkau selama menjaga tidurku di malam kelam.



*******


         

Dering jam bekker yang tersetel semalam sebelum tidur, tepat berbunyi di telingaku. Sontak aku terbangun dari tidur lelapku. Lagi-lagi mulutku komat-kamit membaca mantra sebangun tidur dan berjuta harapan di hari ini. Berbagai ritual sebelum sekolah terlaksana secara urut dari A sampai Z. Lagi-lagi di pagi ini pun aku menatap lagi langit yang masih berkabut. Embun membasahi rerumputan sekolah yang selalu terlihat hijau. Kulangkahkan kaki dengan tak gentar. Berdebumlah, berdebum. Laksana Raksasa ataupun Buto Ijo. Memasuki pekarangan sekolah di pagi buta yang masih kaya akan oksigen bebas tanpa ada jual-beli disekelilingnya. Tak lama, sekitar lima belas menit kemudian waktu menunjukkan 06.45. saatnya apel pagi.
            Terjajar barisan rapi, dari yang tertinggi hingga terendah. Pertama kali ikut apel ini aku merasa bingung. Sebab, di SMP dulu kami berbaris dari yang terendah hingga yang tertinggi, berbalik arah dengan di SMA sekarang. Pernah salah satu guru dan instruktur yang terdiri dari TNI, saat latihan disiplin dan mos mengatakan “rangkaian yang semakin panjang, akan semakin sulit untuk di atur. Di dalam rangkaian terdiri dari kepala, badan dan ekor. Sebab itulah kamu berbaris dari yang tertinggi ke terendah’’. Kalimat itu begitu menjamin kepercayaan kami seorang siswa terhadap gurunya.
          Satu persatu petugas memasuki lapangan apel. Mulai dari pemimpin dan Pembina. Semuanya masih baik-baik saja, hingga satu petugas memasuki arena apel dari ujung pandangku melintas di depan, tepat di depan bola mataku. Jantungku mulai berdegup kencang, darah seolah mengalir tak kenal arus, hatiku meledak membuncah. Seolah ada pegas yang membuat sekujur tubuhku terasa ngilu-pilu.
            “Irsyad?” wajahku memerah. “Irsyad!” sekali lagi nama seseorang keluar dari mulutku. “Dia, mengapa bisa ada disini? Di sekolahku? Sedangkan terakhir kami bertemu dia masih  di Temanggung sana, di SMP lama. Lalu?” beribu pertanyaan datang menghampiriku. Seribu kali pun aku berfikir, tak akan ada satu jawaban yang berhasil kutemukan secara akurat. Bahkan untuk hipotesis awal pun masih penuh kebimbangan.
            Mungkinkah aku masih bermimpi? Bertemu si doi di setiap hari sambil merasakan hangatnya mentari yang tengah menyambut pagi.         Tak akan bergetar lagi derap langkahku. Sejuta semangat membakar asaku. Terus kususuri sambil melihatnya di sepanjang jalanku. Kelopak mataku pun enggan mengedip, walaupun hanya satu kali. Aku tak ingin dia pergi ‘lagi’ dalam genggam hadapku. Tapi, sayang, hendak apa kuberkata. Lagi-lagi ini bukan mimpi. Ini nyata! Sungguh nyata. Rasaku langsung hilang, semangatku lari menerjang. Bukan lagi mimpi indah yang berubah menjadi kenyataan, namun mimpi ini menjadi menyeramkan. Seutas tali harapan, pimpinku dalam dekapan menghadapi sulit ujian ini, Tuhan.
“Tapi.. tunggu sebentar.” Keraguanku semakin menguat. “Irsyad yang terakhir kali kulihat, itu tidak tinggi seperti ini. Ia juga hanya memiliki bentuk tubuh yang standar. Sedang yang barusan ini kulihat, Irsyad berbadan tegap dan tinggi. Apakah dia Irsyad? Tapi.. dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
            Kejadian itu yang melatarbelakangi aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan. Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
            Aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka? Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian “sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
            Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat buah buku pelajaran setebal alaihim.
            “Mbak..” sapaku pada kakak kelas. Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang berboncengan.
            “Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan  Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.


*******
            Dari sini kulihat dia berjalan, seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
            Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya, ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam. Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan, sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku. Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
            “Aku percaya, semua masalah Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi, menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
            “Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.” Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
            “Oh ya?” tepat seperti yang kemarin sore.
            Kutetapkan tekad membara. Untuk tak lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
            “Mila?” sapa seseorang yang tengah berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
            “Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa hari lalu telah kuhindari.
            “Dipanggil Bu Lia.” Tangannya menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri. Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
            “Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
            “Setahu Kakak tadi, kamu juga di suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
            “Oh, nggak. Siapa aja yang ikut, Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
            “Kakak yang mengajukan, Mil.” Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku. Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
            Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan. Kata-katanya membuat hatiku teriris.
            “Referensi lain adalah Ratih. Kakak sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
            “Tahu apa, Kak?”
            “Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh.. kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku. Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil mengerjakan setumpukkan soal.
            “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku yang terasa sempit.
            “Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis, justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
            “Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan. Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.” Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang, membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku. Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu. ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas segala nikmat yang Engkau berikan.
            Berkat lomba Sains ini aku kembali. Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
            “Prestasi membanggakan ini tak hanya diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan menjadi kebanggaan tersendiri.
            “Ratih, kamu bilang apa?”
            “Aku? Bilang apa?”
            “Udahlah. Aku!”
            “Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
            “Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
            “Ampun, Mil. Ampun.”
            “Sekarang aku yakin, tak pernah ada yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”