Say What Do You Feel Now!!!

Selasa, 06 November 2012

Irene


Irene

            Bagaimana bisa aku menerima kenyataan ini? Bagaimana bisa aku merelakan dan mengikhlaskan keadaan ini? Hatiku teriris. Sungguh, aku terluka. Jika ada tempat persembunyian, jika ada tempat pelarian, aku akan menjerit sepuasnya. Aku akan menjerit sekencangnya, hingga udara membawanya pergi bersama rasa sakitku ini. Dan agar kau tahu, betapa pilu hatiku.

            Sebuah janji yang telah kubuat dengannya enam tahun yang lalu, sebelum aku pergi meninggalkan dia seorang diri. Namun janganlah khawatir, karena sampai saat ini masih kupegang erat janjiku. Di tempat ini aku bertemu, di tempat ini aku menghabiskan waktu. Waktu dengannya, dengan segala asa, dengan segala warna. Dan di tempat ini pula kami berpisah, menggores seberkas kenangan, melukis segaris harapan, “kita akan bertemu enam tahun ke depan”. Di tempat ini, kakiku berpijak kembali. Setelah enam tahun berpisah, kucoba tuk tepati janjiku padamu. Janji kita di Taman Alamanda.
            Taman Alamanda. 7 Mei 2010 jam 09.00 pagi. Temui aku, karena aku kembali
            Kukirimkan pesan singkat padanya. Semoga dia ingat, bahwa ini janji kami. Baru jam 07.00 pagi tadi aku sampai kembali di Bandung, Kota Kenangan. Aku menunggunya di tempat ini. Kuperhatikan perubahannya. Tidak banyak yang berbeda setelah enam tahun kutinggalkan. Detik arloji terus berputar, namun Dana belum juga sampai. Pikiranku mulai menghela-hela. Apakah dia tidak ingat? Apakah sudah ganti nomor? Dan sebagainya. Aku terus menunggu dan menunggu. Waktu sekarang menunjukkan sepuluh tepat. Apa aku akan tetap menunggunya? Ini sudah satu jam. Dan tubuhku juga semakin terasa lelah setelah perjalanan jauh. Terasa sakit hebat di bagian hati.
            Kulihat handphone di tanganku. Belum ada balasan yang masuk.
            Dana, aku di Taman Alamanda. Irene
            Sekali lagi, pesan singkat kuluncurkan. Dan kali ini ada balasannya.
            Tunggu, Ine
            Huh.. perasaanku sedikit lega. Semoga dia datang tepat waktu.
            Setelah lima belas menit, baru ada sebuah mobil yang berhenti.
            “Dana..” seruku dari bangku taman.
            “Ine..”
            “Loh? Gani? Dananya, mana?” aku terpelanga, telunjukku bermain di udara. Terheran aku. kucheck kembali handphoneku. Tapi aneh, benar aku mengirimnya ke Dana. Bukan Gani. Tapi…
            “Mm.. Dana minta Gani temuin Ine. Dia lagi nganterin adiknya ke bandara.” Jawaban yang sebelumnya sama sekali tak terlintas di benakku.
            “Oh..” satu kata, kecewa.
            “Ine, capek gak? Aku mau ajak kamu jalan-jalan.” Sahutnya melepaskan aku dari lelah.
            “Boleh tuh.” Setidaknya rencana yang di luar dugaan ini bisa sedikit mengganti kekecewaanku. “Kemana Dana? Apa dia tidak ingat akan janji itu? Atau?” fikiranku terbang melayang bersama asaku yang terasa terhempaskan. Gerak semu pepohonan di sepanjang jalan mendukung suasana hatiku yang sedang kacau berantakan.
            “Kok ngelamun sih? Mikirin Dana, ya?” ucap Gani menghancurkan lamunanku.
            “Eh.. iya nih. Kok dia gak dateng, ya?”
            “Kan aku udah bilang, dia lagi nganterin adiknya ke bandara.”
            “Adik? Adik yang mana?” aku heran. Adik? Dana kan anak tunggal. Apa saat aku pergi dia ada adik baru? Rasanya tipis kemungkinan.
            “Mm.. adik sepupu.”
            “Serius?” alisku meninggi sebelah menandakan bahwa aku tidak percaya.
            “Seriuslah.” Matanya masih memandang jalanan di depan. “Ine makin cantik aja, ya.”
            “Bisa aja. Karena jarang lihat kali ah. Oh ya, kapan Dana bakalan nemuin aku? Aku di rumah Eyang.” Ternyata aku merasa canggung juga, walaupun Gani kawanku dari kecil.
            “Nanti aku tanyain deh.” Handphonenya bergetar.
            “Siapa? Aku angkat, ya.” kuambil handphonenya di sebelah tuas. “Dana?”
            “Halo! Gani! Bisa tolong jemput Ibu gue nggak, atau Ibunya Rani. Rani kritis sekarang.” Jelas sekali dan tak mungkin aku salah. Ini suara Dana.
            “Dana?” aku terperangah sambil memegang handphone di telingaku.
            “Gani? Ini Gani, kan?” ujarnya di seberang sana. Nampaknya dia sedang panik. Tapi, Rani.. itu siapa? Katanya Dana ke bandara?
            “Ini bukan Gani, ini Ine?” bisikku lemah.
            “Ine? Ine siapa? Mana Gani?”
            “Dana, Irene. Aku Irene, Ine.” Air mataku jatuh. Rasanya hatiku sedikit teriris mendengar nada bicaranya. Dia lupa, dia tidak ingat padaku. Hal yang kutakuti selama ini benar terjadi. Juakah ia lupa akan janjinya?
            “Halo!” Gani merampas telepon genggamnya dariku.
            “Jemput Ibu gue sekarang.”
            “Halo! Mati.” Gani menatapku. “Maaf, Ne. Aku..”
            “Kita jemput Tante Mira.” Tanpa basa-basi. Kali ini aku bukan merasa kecewa lagi, tapi aku sudah mulai muak. Mobil yang kami naikki melesat kencang. Membawaku ke rumah dulu.
            “Ine!”
            “Tante!” Tante Mira memelukku hangat. Ia masih mengenaliku dengan jelas.
            “Apa kabar?”
            “Kabar baik, Tante. Tante, Dana minta Tante datang ke rumah sakit sekarang.” Rasanya ada suatu rahasia yang harus kubongkar dengan kedua tanganku.
            “Kamu sudah bertemu?”
            “Belum.” Serentetan pertanyaan terus berlanjut selama perjalanan.
            “Gimana, Ine udah ada calon belum?”
            “Apa? Calon? Tante nih ada-ada aja deh.” Aku tertawa miris.
            “Loh? Iya donk. Ine kan cantik, pintar, baik. Masak belum ada yang jadiin Ine hak milik?”
            “Kalo itu sih udah ada.”
            “Berarti Ine sama Dana impas, ya. Sama-sama.”
            “Apanya?” aku semakin bingung.
            “Jadi, Ine belum tau. Ine masih sama Dana?”
            “Ya, masihlah, Tante. Cuma jarak gak bakalan bisa mutusin hubungan kami gitu aja. Emang kenapa?” aku terus menggali rahasia ini. Jantungku semakin cepat berdetak. Rasa sakit itu semakin terasa.
            “Nggak, Ne. Tante kira udah ada yang gantiin Dana.”
            “Ya nggaklah. Tante, Rani itu siapa?” lirih sekali mengucap nama wanita itu.
            “Tante mohon, kamu bisa mengerti.”
            “Maksud Tante?” pembicaraan kami terhenti sampai disini. Rumah sakit sudah berada di depan mata.
            “Tante mau ke toilet sebentar.” Wajahnya terlihat sedang berfikir.
            “Sus, pasien Rani di ruang mana, ya?” Gani mendahuluiku.
            “Rani? Kanker, Pak? Ruang 505.”
            “Raine? 505.” Kulihat nama itu di papan belakang perawat. Aku kenal dia, dia kawan less. “Gani, aku mau jenguk kawanku dulu. Dia di rumah sakit ini juga.” Langsung saja kutinggalkan Gani tanpa perasaan. Kususuri petak demi petak lantai yang berbaris rapi. Hingga tepat ruang 505 di hadapku. Ada orangtuanya disana. Aku masih ingat. Dulu, sering sekali aku main ke rumahnya. Mencicipi makanan buatan Ibu Raine.
            “Ibu, masih kenal? Aku Ine, kawan Raine. Gimana keadaannya Raine sekarang?” kusujudi tangannya.
            “Begitulah. Masih drop.” Kutinggikan leherku.
            “Boleh Ine masuk?”
            “Silakan.” Kubuka pintu ruangan.
            “Ya ampun, Rai. Dulu kamu masih baik-baik aja. Sekarang? Penyakit kamu ternyata semakin parah. Kenapa kamu selalu sembunyiin ini?” kupegang tangannya. Dingin sekali. Wajahnya pucat. Kenapa selalu sembunyiin? Bukannya aku pun begitu?!
            “Da.. na..” ia tersadar. “I.. bu..” segera kupanggilkan Ibunya.
            “Alhamdulillah syukur, kamu sudah sadar, Ran. Istirahat dulu, jangan banyak gerak.” Apa? Ran? Rani? Lalu, tadi dia menyebutkan Dana. Apakah Rai yang dimaksud Dana? Raine adalah Rani.
            “Ine kan?” ucapannya masih lemah.
            “Iya, Rai. Kok bisa sih kamu sebegini adanya? Cepet sembuh, ya. Kamu harus sembuh. Nanti kita telusurin lagi jalanan yang dulu pernah kita jelajah. Hehe..”
            “Iya, ya. Janji, ya. Tapi, kita perginya bertiga, ya.” tangannya berusaha mendapatkan tanganku.
            “Siapa satunya?”
            “Dia someone special. Namanya Dana.” Sontak aku terkejut. Darah mengalir deras dari ujung kepala hingga kaki. “Itu dia.” Seorang laki-laki memasuki ruangan. Aku kenal dia, hubunganku dengannya cukup dekat. Dia yang berjanji padaku di Taman Alamanda. Dan, miracle, dia Dana. Milik Raine. Peluh hatiku, teriris, tergores, terluka dan entahlah asaku tak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Mataku mengembang. Aku tak ingin menelan kenyataan, tapi harus kuakui dia memang Dana. Tuhan, enam tahun berlalu dengan kesetiaan. Ternyata ini balasan yang kuterima. Rasanya putus sudah harapanku. Dunia bagaikan berhenti berputar dan aku tak ingin lagi melanjutkan perputarannya.
            “Ine..” matanya membundar setelah ia melihatku.
            Sulit rasanya bibirku tuk berucap walau hanya sekata. “Iya, Dan.”
            “Sejak kapan kamu disini?”
            “Baru saja. Rasanya sekarang, aku harus pulang.”
            “Pulang?”
            “Jadi, kamu udah kenal, ya? Kenapa kamu gak bilang, Ne?”
            “Kenal? Rai atau Rani. Aku pulang dulu, ya. Lain waktu aku pasti kesini lagi.” Kutinggalkan ruangan itu dengan sejuta kehampaan, dengan sejuta kekesalan, kekecewaan, kesedihan dan semuanya yang menyatakan bahwa aku patah hati. Bagaimana aku bisa menerima keadaan ini, Tuhan?
            “Ne, kok pulang?” sapa Gani di tengah jalanku.
            “Udah gak ada lagi yang bisa diharapkan. Besok aku pulang. Aku gak bisa lagi tinggal di Bandung.” Sengaja kuteteskan air mataku. Aku ingin mereka tahu, betapa perih hatiku. Kupanggil taksi. “Taman Alamanda.” Hari yang mendukung. Dikesendirian Taman Alamanda hujan turun menyamarkan air mataku. Biarlah, biar orang tahu. Hatiku hancur.
            “Aaaaaaaaa!!!!!!!! Kamu bohong, Dan. Bohong. Mana janji kamu? Untuk apa lagi aku disini? Ternyata aku adalah orang yang paling bodoh. Mengapa aku senantiasa memegang janjiku dikejauhan yang alhasil ini yang kudapatkan? Mengapa kamu hapus janji kita? Mengapa kamu tinggalin aku? Dia! Raine! Kawanku. Rasakan betapa hancurnya hatiku saat ini. Enam tahun, Dan. Enam tahun. Bukan waktu yang singkat untuk melatih kesetiaan. Kamu negrti gak sih????!!! Aaaaaaaaaaaa.” Kulupakan segalanya. Aku ingin merasakan kelegaan.
            “Ine. Aku minta maaf. Tapi, aku harap kamu ngerti. Bukan karena aku lupain janji kita, bukan juga karena aku gak bisa setia, tapi Rani kritis. Dokter bilang gak akan lama lagi.”
            Aku langsung berbalik arah. Kuhapus air mataku dari pandangannya. “Jadi, aku juga boleh melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi kamu? Apa yang akan kamu lakukan saat itu? Kamu tahu? Duniaku terasa berhenti berputar. Aku menaruh harapan besar untuk kembali ke tempat ini. Dan ternyata, kamu menghempaskan semua harapanku. Apa aku juga harus kritis agar kamu lebih mementingkan aku dari yang lain? Dari janji, dari cinta dan sebagainya. Apa harus begitu, Dan?” aku.. jujur.. atau kelepasan? Sakitku.. semuanya tiba-tiba saja menjadi gelap. Tubuhku terasa lemah.
            Ruangan ini sepertinya aku kenal. Iya, ruangan Rai. Tapi mengapa peralatan ini melekat erat di tubuhku? “Tante..” sulit rasanya.
            “Jangan banyak bergerak. Kamu butuh banyak istirahat. Sudah seminggu kamu disini.”
            “Aku? Seminggu?”
            “Gak main-main. Hati kamu..” ucap Dana di sebelahku.
            “Hatiku? Apa kamu tahu tentang hatiku?”
            “Sakit, Ne.”
            “Memang, sakit sekali hatiku.”
            “Aku serius.”
            “Mm.. Mama keluar dulu, ya.” kami terdiam.
            “Rani, udah pergi.”
            “Pergi? Ya ampun, kenapa aku bodoh banget. Pasti ini gara-gara aku. Gara-gara aku.” hatiku semakin ingin memberontak. Kebodohan dua kali kulakukan. “Ah..” rasa sakit itu kembali kurasakan. Hatiku.. kali ini, benar-benar hati..
            “Sudah, Ne. Sudah. Biarlah Rani tenang. Ini bukan salah kamu. Aku gak mau lagi kehilangan kamu untuk kedua kalinya, Ne. Kamu harus sembuh. Aku akan merangkai harapanmu lagi dan memutar duniamu lagi.” Dia memelukku erat. Menghentikan aku dari rontaanku.
            “Aku sakit, Dan.. sakit sekali.” dibalik rasa sakit ini, ada dua. Hati dan perasaan. Semoga Tuhan memberikanku satu kesempatan lagi untuk memerbaikinya.
           
kah di� s a �" �! . dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
            Kejadian itu yang melatarbelakangi aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan. Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
            Aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka? Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian “sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
            Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat buah buku pelajaran setebal alaihim.
            “Mbak..” sapaku pada kakak kelas. Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang berboncengan.
            “Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan  Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.


*******
            Dari sini kulihat dia berjalan, seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
            Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya, ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam. Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan, sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku. Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
            “Aku percaya, semua masalah Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi, menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
            “Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.” Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
            “Oh ya?” tepat seperti yang kemarin sore.
            Kutetapkan tekad membara. Untuk tak lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
            “Mila?” sapa seseorang yang tengah berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
            “Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa hari lalu telah kuhindari.
            “Dipanggil Bu Lia.” Tangannya menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri. Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
            “Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
            “Setahu Kakak tadi, kamu juga di suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
            “Oh, nggak. Siapa aja yang ikut, Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
            “Kakak yang mengajukan, Mil.” Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku. Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
            Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan. Kata-katanya membuat hatiku teriris.
            “Referensi lain adalah Ratih. Kakak sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
            “Tahu apa, Kak?”
            “Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh.. kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku. Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil mengerjakan setumpukkan soal.
            “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku yang terasa sempit.
            “Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis, justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
            “Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan. Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.” Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang, membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku. Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu. ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas segala nikmat yang Engkau berikan.
            Berkat lomba Sains ini aku kembali. Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
            “Prestasi membanggakan ini tak hanya diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan menjadi kebanggaan tersendiri.
            “Ratih, kamu bilang apa?”
            “Aku? Bilang apa?”
            “Udahlah. Aku!”
            “Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
            “Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
            “Ampun, Mil. Ampun.”
            “Sekarang aku yakin, tak pernah ada yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar