Say What Do You Feel Now!!!

Selasa, 06 November 2012

Melangkah Untuk Kembali





Betapa lelahnya mengarungi waktu
Satu hari terasa seminggu
Seminggu terasa setahun
Dan setahun terasa seabad
               
                Namun langkah terlanjur jauh berpijak
                Di atas tanah dan rerumputan hijau
                Mundur! Mundur?
                Hah.. aku tak akan rela

Aku terlanjur payah
Aku terlanjur jauh melangkah
Aku telah di ambang di tengah
Dan tak mungkin kulepaskan begitu saja

                Meski terik semakin menjadi
                 Meski keringat terus mengalir
                Meski linangan terus menderu
                Aku akan terus maju, akan kuhadapi dunia baruku

Tapi… aku terhenti sejenak
Kakiku letih untuk melaju
Mataku terpana diam terpaku
Tubuhku tak bergerak menjadi kaku

                Salahkah apa yang kulihat
                Salahkah apa yang kurasakan
                Salahkah jalan yang kupilih
                Dan salahkah dunia baruku ini

Tiga tahun kau tinggalkanku
Tiga tahun kutinggalkanmu
Jauh terpisah ruang dan waktu
Jungkir balik coba lupakanmu

                Tak ingin lagi kuingat
Tak ingin lagi kukenang
Tak ingin lagi kukembali di saat itu
Dan tak ingin lagi kubersamamu

Sungguh, semua telah cukup
Lama kusetia dengan janjiku
Janjiku tuk tak melupakanmu
Meski ku tak tahu, apakah kau pun begitu

                Kumohon jangan ungkit
                Kenangan itu sungguh pahit
                Dimana duniaku terasa sempit
                Dengan aku yang selalu terhimpit

Biarlah Tuhan.. biarkanlah
Aku ikhlas dia telah pergi
Pergi jauh dari hidupku
Dan biarkan aku pun terbebas darinya

                Aku tak ingin terkekang
                Benakku selalu membayang
                Wajahnya selalu terkenang
                Seolah di depan pandang

Aku tak percaya
Aku tak yakin
Mengapa wajahnya semakin jelas
Jelas di hadap bola mataku


                Mataku terbelalak
                Aku terperangah
                Tuhan, ku mohon…
                Bangunkan aku dai mimpi buruk ini

BUkan! Ini bukan mimpi!
Mungkinkah dia adalah kamu
Sebagai penggantimu
Dari Tuhan untuk menjagaku di kejauhanmu…


Pahit, manis dan asam
masa yang pernah terlalu menjadi
sebuah kenang










               




Melangkah Untuk Kembali




Mungkin apa yang kulihat dan kurasakan saat ini adalah mimpi. Entah mimpi indah ataukah mimpi buruk bagiku. Sempat aku berfikir, apakah aku lupa membaca do’a sebelum tidurku. Namun, ketika aku mulai terbangun, aku sadar bahwa apa yang kulihat dan  apa yang kurasakan saat ini bukanlah sebuah bunga tidurku. Hal ini adalah kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku dan kehidupan baruku. Aku masih belum yakin dan aku tak percaya. Aku telah mengikhlaskan dia, seseorang yang berharga di masa laluku, setelah tiga tahun berpisah dengannya sejak kepindahan SMP. Untuk menjalin komunikasi seperti dulu pun aku enggan melakukannya. Hal itu hanya akan membuatku rindu masa lalu dan menangis saat mengenangnya. Meski tiga tahun kumenunggu untuk setia kepadamu. Namun akhirnya, kuputuskan tuk akhiri pilihanku ini.
           
            Sore ini pun lagi-lagi aku mendapat giliran pulang yang terakhir. Sekolah hampir sepi. Dari sekian ratus siswa yang studi di SMA ini, tinggal beberapa puluh orang saja yang masih bisa dihitung dengan jari-jariku. Salam-sapa serta klakson turut meramaikan jalan depan sekolah. Kekeluargaan sekolah ini patut kuacungkan jempol. Bukan hanya dua jempol, kalau boleh aku pinjam jempol kalian.
            Sebelum kulangkahkan kakiku keluar dari gerbang sekolah, aku sempat melihat kakak itu berboncengan dengan temannya sambil menenteng-nenteng sepasang sepatu yang ia lepas. Aku tahu ia memperhatikanku hingga benar-benar pulang dengan sebuah kendaraan. Aku tak berbalik arah, sekalipun hanya untuk tersenyum menghormati dia sebagai kakak kelasku. Biarlah biar, aku tak peduli. Aku tak lagi ingin tenggelam dan larut seperti masa itu. Aku tak ingin terulang lagi. Cukup sekali.
            “Jika tak mengharapkan, maka aku tak akan lagi merasa kehilangan.” Ucapku dalam lubuk hati.
Di sepanjang jalan pulang, wajahku mendongak menatap awan senja yang mulai kemerahan setelah di tinggal oleh matahari yang perlahan tenggelam. Hingga tak terasa aku sudah sampai di rumah. Rasa lelah sehabis belajar seharian lamanya tak lagi pernah kurasa. Semua kuhadapi dan kujalani dengan senyuman. Belum lagi tugas yang katanya seabrek-abrek, menurutku itu nggak benar. Sedikitpun, aku jarang mengerjakan tugas sekolah di rumah. Semua tugasku telah selesai sejak di sekolah tadi.
            Kuambil sebuah buku dari rak buku. Kubuka di bagian pertengahannya. Mulai saja jari-jariku lentur menuliskan apa yang ada di fikiranku saat ini.

            Bukan sebuah istana yang megah
            Tangga tersusun menyongsongnya
            Namun berdegup hati nan merah
            Ketika perlahan kubuka mata
Bukan ungkapan cinta sang pujangga
Juga bukan lantunan merdu sang penyair
Hanyalah dia bertegak di depan mata
Membuat tangis bergerak mengalir
           
            Ingin aku berlari
            Menghindari keadaan ini
            Tapi apalah daya dalam diri
            Jika Sang Kuasa tak memberi

Terjadilah apa yang hendak terjadi
Lakukanlah apa yang harus dilakukan
Tapi satu pintaku, Tuhan
Bantuku tuk tegar menghadapi

            Kenyataan ini
            Begitu membuat aku merasa bimbang
            Ragu ku selalu bertanya
            Rasaku kini terulang kembali


            “Wajah yang sama belum tentu sikapnya juga sama. Terutama hatinya..” Lagi-lagi bayangan kakak itu terlintas lagi dalam benakku. Hush.. hush.. pergi. Jangan kemari. Tak ada lagi ruang untuk menampungmu dalam benakku. Sana-sana. Jangan ganggu aku. Dua kata, bebaskan aku.
            Tidur. Satu-satunya cara menghilangkan kepenatan. Mata yang selalu terbelalak membuka di setiap harinya, otak yang selalu bekerja dan fikiran yang diharuskan terbuka luas mencengkeram cakrawala. Dengan berdo’a agar mimpi indah selalu hadir bagai bunga tidurku. Mengucapkan berbagai kata terima kasih atas nikmat hari ini dan berjuta harapan untuk hari esok yang lebih baik lagi. Kututup hari ini bersamaan dengan terpejamnya mataku. Selamat malam, rembulan. Tersenyumlah engkau selama menjaga tidurku di malam kelam.



*******


         

Dering jam bekker yang tersetel semalam sebelum tidur, tepat berbunyi di telingaku. Sontak aku terbangun dari tidur lelapku. Lagi-lagi mulutku komat-kamit membaca mantra sebangun tidur dan berjuta harapan di hari ini. Berbagai ritual sebelum sekolah terlaksana secara urut dari A sampai Z. Lagi-lagi di pagi ini pun aku menatap lagi langit yang masih berkabut. Embun membasahi rerumputan sekolah yang selalu terlihat hijau. Kulangkahkan kaki dengan tak gentar. Berdebumlah, berdebum. Laksana Raksasa ataupun Buto Ijo. Memasuki pekarangan sekolah di pagi buta yang masih kaya akan oksigen bebas tanpa ada jual-beli disekelilingnya. Tak lama, sekitar lima belas menit kemudian waktu menunjukkan 06.45. saatnya apel pagi.
            Terjajar barisan rapi, dari yang tertinggi hingga terendah. Pertama kali ikut apel ini aku merasa bingung. Sebab, di SMP dulu kami berbaris dari yang terendah hingga yang tertinggi, berbalik arah dengan di SMA sekarang. Pernah salah satu guru dan instruktur yang terdiri dari TNI, saat latihan disiplin dan mos mengatakan “rangkaian yang semakin panjang, akan semakin sulit untuk di atur. Di dalam rangkaian terdiri dari kepala, badan dan ekor. Sebab itulah kamu berbaris dari yang tertinggi ke terendah’’. Kalimat itu begitu menjamin kepercayaan kami seorang siswa terhadap gurunya.
          Satu persatu petugas memasuki lapangan apel. Mulai dari pemimpin dan Pembina. Semuanya masih baik-baik saja, hingga satu petugas memasuki arena apel dari ujung pandangku melintas di depan, tepat di depan bola mataku. Jantungku mulai berdegup kencang, darah seolah mengalir tak kenal arus, hatiku meledak membuncah. Seolah ada pegas yang membuat sekujur tubuhku terasa ngilu-pilu.
            “Irsyad?” wajahku memerah. “Irsyad!” sekali lagi nama seseorang keluar dari mulutku. “Dia, mengapa bisa ada disini? Di sekolahku? Sedangkan terakhir kami bertemu dia masih  di Temanggung sana, di SMP lama. Lalu?” beribu pertanyaan datang menghampiriku. Seribu kali pun aku berfikir, tak akan ada satu jawaban yang berhasil kutemukan secara akurat. Bahkan untuk hipotesis awal pun masih penuh kebimbangan.
            Mungkinkah aku masih bermimpi? Bertemu si doi di setiap hari sambil merasakan hangatnya mentari yang tengah menyambut pagi.         Tak akan bergetar lagi derap langkahku. Sejuta semangat membakar asaku. Terus kususuri sambil melihatnya di sepanjang jalanku. Kelopak mataku pun enggan mengedip, walaupun hanya satu kali. Aku tak ingin dia pergi ‘lagi’ dalam genggam hadapku. Tapi, sayang, hendak apa kuberkata. Lagi-lagi ini bukan mimpi. Ini nyata! Sungguh nyata. Rasaku langsung hilang, semangatku lari menerjang. Bukan lagi mimpi indah yang berubah menjadi kenyataan, namun mimpi ini menjadi menyeramkan. Seutas tali harapan, pimpinku dalam dekapan menghadapi sulit ujian ini, Tuhan.
“Tapi.. tunggu sebentar.” Keraguanku semakin menguat. “Irsyad yang terakhir kali kulihat, itu tidak tinggi seperti ini. Ia juga hanya memiliki bentuk tubuh yang standar. Sedang yang barusan ini kulihat, Irsyad berbadan tegap dan tinggi. Apakah dia Irsyad? Tapi.. dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
            Kejadian itu yang melatarbelakangi aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan. Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
            Aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka? Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian “sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
            Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat buah buku pelajaran setebal alaihim.
            “Mbak..” sapaku pada kakak kelas. Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang berboncengan.
            “Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan  Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.


*******
            Dari sini kulihat dia berjalan, seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
            Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya, ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam. Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan, sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku. Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
            “Aku percaya, semua masalah Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi, menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
            “Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.” Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
            “Oh ya?” tepat seperti yang kemarin sore.
            Kutetapkan tekad membara. Untuk tak lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
            “Mila?” sapa seseorang yang tengah berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
            “Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa hari lalu telah kuhindari.
            “Dipanggil Bu Lia.” Tangannya menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri. Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
            “Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
            “Setahu Kakak tadi, kamu juga di suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
            “Oh, nggak. Siapa aja yang ikut, Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
            “Kakak yang mengajukan, Mil.” Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku. Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
            Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan. Kata-katanya membuat hatiku teriris.
            “Referensi lain adalah Ratih. Kakak sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
            “Tahu apa, Kak?”
            “Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh.. kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku. Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil mengerjakan setumpukkan soal.
            “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku yang terasa sempit.
            “Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis, justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
            “Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan. Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.” Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang, membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku. Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu. ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas segala nikmat yang Engkau berikan.
            Berkat lomba Sains ini aku kembali. Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
            “Prestasi membanggakan ini tak hanya diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan menjadi kebanggaan tersendiri.
            “Ratih, kamu bilang apa?”
            “Aku? Bilang apa?”
            “Udahlah. Aku!”
            “Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
            “Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
            “Ampun, Mil. Ampun.”
            “Sekarang aku yakin, tak pernah ada yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar