Say What Do You Feel Now!!!

Minggu, 30 September 2012

bunga kirana


Bunga Kirana


            Bunga. Saat satu kata itu meluncur ke pendengaranmu, apakah yang saat itu terlintas dalam benak? Penghias taman, pasti itu yang sering terlalu saat sebuah kata itu terlontar. Namun, bunga itu tak hanya sebagai penghias taman, tetapi bunga juga dapat dijadikan cermin kehidupan dan perasaan seseorang. Seperti bunga Mawar. Setiap wanita akan merasa tersanjung dan merekah hatinya kala seorang lelaki memberinya Mawar. Sekalipun hanya setangkai Mawar. Sebab, Mawar disini sebagai ungkapan dari sebuah perasaan. Namun apa jadinya jika tak satupun bunga disukai seorang wanita? Asing dan menakutkan. Bahkan menjadi suatu hal yang paling dibenci?

Lapangan basket SMA PERTIWI
            Berpasang-pasang mata menyipit oleh sinar mentari pagi. Berapat-rapat orang berdiri. Beramai-ramai orang bersorak melihat aksi Rana si Kapten Basket Putri dalam permainannya kali ini.
            “Go Rana, go Rana, go!” melengking suara supporter basket dari garis luar lapangan. Semuanya mendukung Rana. Padahal kemenangan datang dari kekompakkan tim, bukan dari aksi Rana seorang.
            “Oper, Ka.” Seru Rana saat Rika membagi bola kepada Maya yang menanti operan bola.
            “Yah..” ketegangan penonton berubah menjadi kekecewaan penonton. Masing-masing bahu dari mereka membungkuk saat bola tak tepat sasaran dan melambung keluar lapangan. Berhenti tepat di bawah kaki Rafi yang sedang melangkah membawa mikroskop.
            “Thanks.” Keningnya berkerut melihat dalam-dalam ke arah tulisan nama di seragam. Gaya santai yang menjadi ciri khasnya dalam berbicara melukiskannya sebagai anak gaul. “Rafi.” Terheran lelaki itu melihat mata Rana. Bola matanya ikut melihat ke mana bola mata Rana menuju.
            “Sama-sama, Ran.” Ucapnya lebih santai dan sederhana. Keheranan Rafi sekejap berpindah ke Rana. Seragam tim basketnya yang tak memiliki tulisan nama mereka selain di punggung. Lantas, dari manakah Rafi mengetahui namanya.
            “Lho? Kok bisa tahu?” mengoper bola dari tangan kanan ke tangan kiri. Jarinya menunjuk. Membelah udara di sekitarnya. Bola matanya melirik ke atas seolah bertanya.
            “Siapa yang gak tahu sama kapten basket yang …” lagi-lagi sorakan supporter yang melengking bagaikan gesekkan dua buah besi dengan kecepatan gravitasi yang besar, memotong pembicaraan mereka. Mengilukan telinga. Sekejap itulah Rana meninggalkan Rafi. “… gak suka bunga.” Melanjutkan kalimatnya dan tersenyum.
            “Kepotong ya, Sob?” ujar Rama menepuk bahu Rafi dari belakang. “Dasar! Ketua KIR payah. Soal IPA dan keilmiahan, loe memang menang dari gue. Tapi soal cinta. Hem. Belum tentu loe yang menang. Nih, gue si Pendekar Cinta.” Tangannya yang semula terlipat di atas dada, terkepal kuat menepuk dada sebelah kirinya.
            “Ah resek, loe.” Menyingkirkan tangan Rama yang menepel di bahunya. Berjalan terus menuju lab.
            “Tapi bener, kan?” menghadang langkah Rafi.
            “Nggak!” berjalan melalui sisi samping. Seperti mobil sedan yang berusaha memotong jalan bus besa lewat sisi kanan jalan tol.
            “Buktiin! Loe pasti kalah dari gue. Haha..” ledeknya meremehkan.
            “Sip. Gue buktiin.” Untuk yang kedua kalinya ia mendahului lewat lajur kanan.
            Prok prok prok. Tepukan tangan memeriahkan akhir dari pertandingan serta kemenangan tim Rana.
            “Sukses, Bo!!” mengangkat tangannya setinggi bahu. Membiarkan jemarinya berkeliaran bebas meloncati udara.
            “Iyalah. Siapa dulu?” sahut Rika menyambut kemenangan mereka.
            “The Sweetest Team.” Sorak sorai sambil meloncat di tengah keramaian lapangan basket. Meninggalkan keramaian menuju loker ganti.
            “Ran, tadi loe ngomong apa aja sama Rafi?” tanya Maya serius. Raut wajahnya tak terdapat sedikit pun titik senyum. Matanya menatap dalam-dalam wajah Rana yang sedang membuka loker. Seperti hantu, seram.
            “Nggak ngomong apa-apa.” Seperti biasa, gaya santainya sambil menutup dan mengunci pintu lokernya.
            “Bohong! Loe suka sama Rafi, kan?” menjatuhkan tangan Rana yang sedang memutar anak kunci.
            “Apaan sih, May? Gue Cuma bilang makasih. Terus dia …” matanya menatap ke langit-langit ruangan.
            “Dia kenapa?” menjatuhkan posisi tegaknya. Bersandar dengan loker yang berdiri tegak.
            “Dia tahu nama gue, May. Padahal, nama kita kan Cuma ada di punggung. Ini nih di punggung.” Menunjukkan namanya di seragam yang telah ia lepaskan sdari tadi.
            “Jangan coba-coba loe rebut Rafi dari gue!” bangkit ia dari duduknya. Jemarinya mengarah ke hadapan wajah Rana yang sedikit terkejut.
            “May, loe kenapa? Loe suka sama Rafi? Ambil aja sana. Lagian gue juga gak suka sama dia. Ambil sana. Ambil.” Emosionalnya meledak. Tangannya menyingkirkan segala udara yang ada di sekitar. Mengusir dari tempatnya.
            “Gue pegang omongan loe.” Sahut Maya meninggalkan Rana. Rana terdiam terpaku atas sikap Maya. Berbalik arah melihat sahabatnya yang marah tak teredam. Baru kali ini ia marah seperti itu, hanya karena seorang lelaki.
            Ada kerikil di anatara persahabatan kami. Ucapnya dalam hati. Berjalan meuju ruangan kelas.
            “Rana! Tunggu.” Panggil Rama dari lab IPA. Melambaikan tangannya ke atas. Masih dengan kebingungan atas sikap Maya. Ia bejalan tanpa menghiraukan siapa yang memanggil.
            “Kenapa lagi?” langkahnya terhenti. Alisnya naik. Bosen melihat batang hidung Rama yang sedari SMP selalu sekelas. Tak pernah tak terlihat walau hanya satu hari. Bersahabat dari SMP. Persahabatan yang lebih dari sekadar dekat.
            “Wak elah. Sensi amat. Congrate ya atas kemenangan tim basket loe. Ditunggu nih traktirannya. Hoy! Gue lagi ngomong ini, Ran.” Jemarinya terbuka lebar. Bergerak ke kiri dan kanan. Sedang yang sebelah kiri, menunjuk ke wajahnya sendiri. Meneliti arah pandangan Rana yang sedang celingak-celinguk ke dalam lab. Tepatnya ke arah Rafi. “Loe lihat apa?” memutar posisi badannya. Melihat apa yang Rana lihat. “Rafi itu Ketua KIR.” Melanjutkan kalimatnya.
            “Oh.. tapi sayang. Gue gak tertarik.”
            “Bener, Ran? Asik.” Tangannya mengepal. Mendorong angin untuk lebih cepat bergerak ke depan dan belakang.
            “Loe kenapa, Ram? Kayak kucing dapat tulang ikan.” Ucapnya geli melihat tingkah Rama.
            “Ssst!!!” raut wajah anggota KIR yang marah atas obrolan mereka. Rama melepaskan spidolnya dan membiarkan buku terjepit di telapak dan jemari tangan kirinya.  Dengan mengapit buku berjudul Bunga dan Serangga, Pak Ketua izin keluar ruangan pada anggota didik.
            “Maaf, kalau kalian ingin ngobrol, di tempat lain saja. Kami masih ada materi.” Menaikkan bukunya, memperlihatkan bukti, bahwa masih banyak materi yang harus mereka pelajari.
            “Ah.. buku. Buku.” Wajahnya pucat. Secepat kilat ia berlari meninggalkan dua orang itu.
            “Dia kenapa?” Rafi tercengang ketika melihat preman sekolah lari terbirit-birit.
            “Wah, loe, Raf. Keterlaluan loe. Loe kan tahu, dia gak suka bunga. Gak asik, ah.” Mendorong bahu Rafi.
            “Buku?” melihat sampul buku yang ia pegang. “Ya ampun, gue lupa. Dia kan gak suka sama bunga.” Menatap Rama yang ikutan lari mengejar Rana.

Esok pagi…
            “Rana!” seru Rafi menyelaraskan langkahnya.
            “Loe gak bawa hal-hal yang berhubungan dengan ‘itu lagi’, kan?” tanyanya takut-takut.
            “Oh, iya. Maaf yang kemarin. Gue lupa. Kalau elo gak suka bunga.”
            “Ah…” merintih ia.
            “Ran! Loe gak papa, kan?!” menegakkan posisi Rana. “Maaf sebelumnya, tapi gue pingin tahu kenapa loe takut sama…” menggerakkan alisnya. Menunjukkan bahwa kata itu adalah kata yang membuat Rana merasa takut.
            “Dulu.. waktu Mama sakit, Mama minta bunga Anggrek. Gue dan Papa gak tahu apa alasan Mama meminta bunga Anggrek. Karena, keadaannya makin kritis, Papa langsung datengin semua took bunga yang ada di sekitar rumah sakit.”
            “Terus? Dapet?”
            “Iya, ada bunganya. Tapi.. sayang, saat bunga Anggrek itu ada di tangan Papa, saat itu juga gue lihat bunga itu jatuh bersamaan darah Papa.”
            “Maksud loe?”
            “Papa, ketabrak. Tepat saat adik gue ngasih kabar bahwa Mama gak bisa lagi ditolong. Sejak itu, gue benci sama bunga, terutama Anggrek.” Membiarkan Rana bersandar dengan bahunya sebagai tumpuan. Ia rangkul bahu Rana. “Seandainya gak ada permintaan untuk beli Anggrek itu, seenggaknya masih ada Papa sekarang.”
            “Heh! Lancang loe. Ngingetin Rana tentang kejadian itu. Gue aja temennya dari kecil, gak pernah ungkit kejadian itu. Kurang ajar, loe, Raf.” Rama menarik dasi Rafi dan mengepalkan tangannya, bersiap meluncurkan sebuah pukulan keras. Sedangkan, Maya menarik tangan Rana, memisahkannya dari pundak Rafi.
            “Gue bilang juga apa?! Loe suka sama Rafi.” Pipi Rana memerah.
            “May, jangan!” tangan Rafi menghela Maya dan tangannya. Ia masih berada id cengkeraman Rama.
            “Rama, jangan!” berusaha melepas dirinya dari Maya. Rana terhempas jatuh setelah kepalan sohib kecilnya mengenai wajahnya yang tengah melindungi Rafi. Cengkeramannya terlepas.
            “Rana!” menepuk pipinya. Menyadarkannya dari pingsan. “Ran, sadar.” Berbaring lemah ia di klinik kecil. Diambil sehelai kain yang terlipat. Dicelupkannya ke air untuk mengompres bekas pukulan Rama.
            “Ram, loe diam aja lihat mereka berdua? Gue tahu loe juga suka sama Rana. Kita harus kerjasama untuk misahin mereka.” Ucapannya membuat emosi Rama menggelegar.
            “Eh, May. Loe tuh mikir donk. Seagresif ini jadi cewek. Pantes kalo Rafi gak mau sama loe. Gue gak mau terima tawaran loe. Gue lebih seneng lihat mereka berdua, daripada gue lihat Rana sedih. Karena, mereka saling suka.”
            “Pengecut.”
            “May, kita harus dewasa. Mereka salaing suka, kita gak boleh misahin mereka.”
            “Hah!” tangannya mengobrak-abrik angin.
            Rafi terlehit menyudahi merawat Rana. Ia sedang melukis setangkai bunga yang dipegang oleh seorang wanita. Terhenti jemarinya yang elok melukis, saat suara rintihan mulai terdengar.
            “Syuku, deh, kalau udah sadar.” Rana terpelanga melihat lukisan di helai kertas.
            “Ini buat aku?” mengambil secarik kertas di tangannya.langsung memeluk Rafi erat. Rafi tersenyum kala menyadari Rana tak lagi takut dengan… BUNGA.


SELESAI

Rianti


Rianti
Kawat Lurus Bagai Duri


            Rasanya pasti seru jika kita memiliki sohib lengket seperti amplop dengan perangko. Melewati har-hari dengan kebersamaan, saling melengkapi. Kalau sebelumnya hidup kita hanya berwarna hitam dan putih ukuran tiga kali empat, sejak ada sohib pasti akan berubah menjadi warna ukuran close up. Juga kalau sebelumnya hidup kita hanya berwarna hitam dan putih, maka dengan adanya sahabat hidup seperti pelangi.
            Namun apa jadinya bila sebuah kepercayaan seorang sahabat terkhianati? Bagikan meniup balon, kemudian pecah karena ditusuk jarum dalam sekedipan mata. Atau lebih tepatnya lagi memberikan kebahagiaan kita untuk dia. Membiarkan dia membawa pergi. Merelakan kebahgiaan untuk kebahagiaan.
            “Ri, maafin aku, ya? kemarin aku udah marah-marah sama kamu.” Ucapnya sambil menggenggam tangan Rianti.
            “Nggak papa. Aku ngerti. Kamu gak usah banyak mikiran masalah kemarin. Nanti kepala kamu sakit lagi. Aku gak mau kamu kenapa-napa.” Ujarnya menenangkan Meydi. Menyambut genggamannya. Sambil menatap takut mata Yuda yang sedang berdiri di samping Meydi.
           
Baru saja lusa kemarin aku menerima Yuda lebih dari sekadar sahabat. Aku tak tahu jika Meydi juga menaruh harapan padanya. Sampai kutahu hal ini dari Rena. Sekejap itu, Meydi mengesampingkan janji persahabatan kami.
“Rianti. Kamu tuh sahabatku atau musuhku sih?! Kamu gak kurang-kurang dari pengkhianat.” Menghempas bahuku. Ia lose controlled. Bukan rasa takut ia akan benci padaku, namun rasa takut penyakitnya timbul di sekolah. Papa dan Mamanya telah menitipkan Meydi padaku. Untuk itu, aku harus selalu menjaga Meydi. Dan sejak saat itu pula, kesabaranku harus selalu dilatih.
Orangtua Meydi tak pernah memberitahu apa penyakitnya. Ia takut aku kelepasan dan rahasia mereka akan terbongkar. Namun mereka hanya bilang, bahwa Meydi bisa saja lupa akan suatu hal dan lepas emosi. Teringat aku akan pesan mereka saat Meydi marah kepadaku.
“Mey, aku minta kamu tenang. Aku akan jelasin semuanya. Aku dan Yuda gak ada hubungan apa-apa, hanya teman. Seperti aku dan kamu.” Kupegang bahunya.
“Ri!” panggil Yuda kecewa atas jawabanku. Meninggalkan aku dan Meydi. Namun, apapun yang terjadi aku harus ada di samping Meydi.
“Serius, Ri? Kamu nggak lagi bohongin aku, kan?” emosinya mereda. Aku tak ingin mengingkari janjiku padanya dan janjiku kepada orangtuanya.
“Mm.” menganggukkan kepala. “Kayaknya kamu kurang sehat deh. Pucat, Mey. Kita ke UKS aja, ya?” kuantar Meydi ke UKS. Ia merintih kesakitan. Semakin tak ingin kumengecewakannya. Pingsan di hadapanku. Fikiranku kosong. Aku bingung, apa yang harus kulakukan. Tak tega melihatnya hidup dalam angan dan khayalannya sendiri. Serta dalam kebohongan aku dan Yuda. Di satu sisi aku harus menemaninya, di sisi lain aku harus member penjelasan kepada Yuda.
“Ri, aku minta maaf gara-gara aku, Meydi jadi kayak gini.” Ujar Rena membangunkanku dari lamunan.
“Nggak kok. Ini bukan salah kamu. Ini salah aku, coba aja kalau aku tahu Meydi suka sama Yuda, aku gak akan biarin ada hubungan antara aku sama Yuda.” Mencoba untuk menguatkan diriku sendiri.
            “Aku bangga punya teman kayak kamu. Udah baik, rela untuk mengorbankan diri sendiri lagi. Terus berjuang, ya, Ri.” Menepuk bahuku. Aku terdiam tercengang. “Aku tahu sekarang kamu lagi bunging banget, kan? Mendingan kamu temuin Yuda untuk jelasin semuanya.”
            “Meydi?” fikirku dua kali sebelum aku pergi meninggalkannya.
            “Meydi biar aku aja. Hitung-hitung untuk memperbaiki kesalahanku. Sudah pergi sana. Selesaikan semuanya.” Aku berjalan keluar. Mencari sosok Yuda, ternyata ia sedang menghampiriku.
            “Tolong jelasin maksud kamu kalau kita itu hanya teman.” Memegang pundakku erat sekali. Aku takut.
            “Sebelum kami bersahabat, Mama dan Papa Meydi berpesan padaku untuk menjaga Meydi di sekolah dari penyakitnya. Mereka tak membertahuku penyakit apa yang diidap Meydi. Mereka hanya bilang, bahwa sewaktu-waktu Meydi bisa lupa akan suatu hal dan lepas emosi. Untuk itu, aku bilang kalu kita hanya teman. Aku nggak mau Meydi tambah sakit seperti sekarang ini. Dia terbaring pingsan di UKS, Yud.”
            “Rianti, hubungannya sama kita apa?” tatapannya semakin dalam. Genggamannya semakin erat.
            “Kenapa kamu gak ngerti juga sih? Aku bingung, harus jelasin gimana lagi biar kamu ngerti.” Kutundukkan kepalaku.
            “Yaudah.” Melepaskan genggamannya dan pergi meninggalkanku yang sedang berdiri terpaku. Hatiku perih. Tak tahan aku.
            “Meydi itu suka sama kamu, Yuda!” teriakku tak tahan lagi. Menangis aku.
            “Apa?” berbalik arah. Menghampiriku lagi. Tatapannya semakin dalam ke dalam mataku. “Apa kamu bilang?” mengangkat wajahku.
            “Meydi suka sama kamu. Dan aku baru tahu itu.” Air mataku jatuh ditarik gravitasi.
            “Maksud kamu?” melepaskan genggamannya.
            “Kalau aja aku tahu dari awak, Meydi itu suka sama kamu, aku gak akan ngebiarin ada hibungan yang mengikat kita.”
            “Jadi maksud kamu, kamu gak mau ada hubungan ini?”
            “Yuda, cinta itu gak perlu dengan hubungan seperti ini. Tanpa hubungan ini pun kita bisa memiliki persaan kita.”
            “Tapi aku gak bisa.” Lagi-lagi meninggalkanku begitu saja. Walau baru selangkah.
            “Kamu harus bisa. Demi aku, Yud. Cinta itu butuh pengorbanan.”
            “Jadi maksud kamu, aku juga harus ..” berbalik arah lagi. “.. suka sama Meydi?” aku tak tahu sejak kapan ia ada di belakang kami. Mendengarkan pembicaraan ini.
            “Yuda, ternyata kamu juga suka sama aku? Berarti benar, Rianti gak lagi ngebohongin aku.” Dia memeluk Yudha di hadapanku. Semakin menangis aku. Betapa pelik masalah ini. Betapa perih teriris hatiku. Entah apa yang harus aku lakukan.
            “Maaf, Ri. Tapi Meydi maksa untuk keluar.” Ucap Rena menyesal.
            “Rianti..” ucap Yuda berbisik.
            Aku hanya diam berfikir. “Lakukan saja. Demi aku. Kumohon.” Kuusap pipiku. Penuh air mata ternyata. Berusaha menyembunyikan rasa sakit ini dari Meydi.
            “Mey..” sahut Yuda.
            “Iya?” melepaskan pelukkannya.
            “Selamat, ya, Mey. Selamat, ya, Yud.” Jabatanku tak terbalas.
            “Rianti..” sahut Rena lemah. Menatap wajahku yang penuh kehancuran.
            Sebuah pengorbanan diantara kesetian seorang sahabat. Inilah Rianti.

S E L E S A I

patah cokelat


PATAH COKLAT
Bodo amat dah..


            Hai, pecinta cokelat! Siapa sih yang gak suka sama yang manis-manis dan bentuknya persegi panjang?! Semua orang pasti suka tuh. Suatu kebohongan, kalau kamu belum pernah sedikit pun mencicipi kelezatan cokelat. Kenalin nih, kami dari Three Girls Love Chocolates. Namaku Nay dan dua temanku, Rizka dan Mutia. Kami adalah tiga orang sahabat setia pecinta cokelat. Apapun bentuknya kalau rasa cokelat, pasti akan kita santap. Gak akan ketinggalan sedikit pun berita tentang cokelat. Kalian pasti mengira kalau gigi kami sudah gak bersinar lagi kan?! Salah tau! Walaupun kami senang makan cokelat, gigi tetap putih bersinar. Sampai-sampai dapat penghargaan dari guru biologi, karena bisa menjaga kebersihan gigi dari kegemaran makan cokelat. Hal yang paling ditakutkan jika giginya rusak karena keseringan makan cokelat.
            Jadwal kita bertiga untuk hari minggu adalah hunting cokelat untuk persediaan. Belum lagi tambahan dari Mama dan Papa. Suka kena marah juga sih. Tapi, segala sesuatu kan butuh perjuangan untuk mendapatkan apa yang kita mau, meski sampai kena marah. Cie ilah, gaya loe ngomong, Nay. Selangit! Nggak papalah, Mut. Ja-im dikit. Tapi, emang bener si. Haha..
            “Mama! Papa!” teriakan manja dari tiga gadis terdengar sederet rumah di komplek perumahan Beauty Rose.
            “Apa sih, Nay? Jangan teriak-teriakan donk. Malu sama tetangga.”
“Iya. Ini tuh udah malem. Malu-maluin aja! Udah segede ini, manjanya gak ilang-ilang.” Timpal Papa. Jadi malu juga.
“Aduh, Mama, Papa. Jangan mengalihkan pembicaraan deh. Emang kalian lupa apa, jadwal hari ini? Mana cokelat Nay, Ma, Pa?” menadahkan tangan halus yang tidak pernah menyetuh piring kotor atau sapu sekali pun.
“Itu disana. Sampai kapan kamu mau makan cokelat terus-terusan?” sambil mengarahkan ibu jari dengan kuku panjang berwarna pink.
“Makasih, Ma, Pa. Aku juga gak tau sampai kapan mau makan cokelat. Haha.. cokelat, I love you.” Mencium cokelat pemberian orang tuanya sambil naik tangga.
“Aduh..”
“Makanya, lihatin cokelatnya nanti. Naik dulu. Baru diajak ngomong tuh cokelat.” Sindir seorang ibu yang sabar teramat-amat sabar.
“Huuuh..”

Di teras kamar..
            “Hallo. Mutia! Rizka! Mana? Udah dapet belum dari bonyok loe?” saling teriak berhadapan di teras kamarnya. Di terpa angin malam, memamerkan persediaan cokelatnya.
            “Nih.” Memperlihatkan puluhan bungkus cokelat mereka. Memamerkan rasa cokelat satu sama lain.
            “Bokap gue, beliin gue cokelat Godiva. Enak banget.”
            “Minta donk, Riz!”
“Enak aja. Nggak!”
“Tukeran deh.”
“Nggak. Sekali gue bilang nggak, ya nggak.”
“Loe satu gue dua?”
“Mm.. boleh deh.” Ah. Sok jual mahal deh. Akhirnya mau juga ditukar.

Tiba-tiba..
“Woy! Berisik loe. Udah malem masih teriak-teriakan aja!” gertakan yang membuat ketiganya masuk ke kamar masing-masing. Menutup jendela dan pintu, serta merapatkan gorden.

Di sekolah..
            “Eh, kemarin siapa sih yang marah-marah gak jelas?”
“Mana gue tau, Riz.”
“Bener banget tuh. Marah-marah gak jelas. Emang kita salah apa sama dia?”
“Emangnya kalian ngapain?” Tanya Siska teman dekat kami yang gak begitu suka sama cokelat.
“Kita lagi di teras kamar. Ngasih tau cokelat yang kita dapat dari bonyok kitalah. Eh, ada orang marah-marah. Pake bentak-bentak segala lagi. Emak Bapak gue aja gak marah. Gimana kita gak kesal. Iya nggak, Riz, Mut?”
“Itu sih, emang salah kalian. Kalian udah gila apa?! Malem-malem ngobrol jarak jauh. Pasti ganggu tidur orang tuh. Wajar aja kalau dia marah sama kalian.”
“Tega loe, ya, Sis. Ngatain temen loe sendiri.” Memberhentikan sejenak kegiatan makan cokelatnya.
“Nggak gitu juga si. Maksudnya, ada waktu buat kasih tau cokelat yang kalian punya. Bukan malam-malam gitu.”
“Ngomong soal malem. Malem nanti gue ada acara nih sama pujaan hati.” Pipinya merah. Tatapannya keatas. Membayangkan sesuatu yang indah.
“Mau nge-date sama siapa loe, Riz?”
“Ada deh.”
“Biarin aja, dia gak kasih tau kita, nanti kalau udah patah hati baru mau cerita. Resek loe, Riz.”
“Hush! Kalo ngomong sembarang loe ya, Nay. Sebagai sahabat gue, do’ain yang baik-baik kek. Ini do’ain patah hati. Gimana sih?! Tapi, tenang aja, gue gak bakalan patah hati. Soalnya, dia tuh baik banget sama gue. Dia gak mungkin nyakitin gue. Malahan, dia yang semangatin gue untuk terus makan cokelat.”
“Hari gini, gak bakalan patah hati? Nanti juga kemakan omongannya sendiri.”
“Biarin aja. Asal ada cokelat, gue gak bakal patah hati.”
“Terserah loe aja deh, Riz.” Mengggigit cokelatnya sedikit demi sedikit.

Jam 20.00..
            “Pake baju yang mana nih gue? Pilihin donk.”
            “Ini.” Mengambil baju dari lemarinya.
            “Norak.”
            “Yang ini?” menunjukkan lagi.
            “Kampungan.”
            “Yaudah pilih senidiri deh.” Melemparkan baju dari tangannya.
            “Eits, jangan marah, girls. Oke-oke yang ini, ya. Not bad. Thanks, ya. Udah milihin.” Sambil berputar di depan kaca rias.
            “Iya. Semoga kencan loe lancar.”
            “Makasih, ya, girls.
            “Three girls?”
            “Love chocholates.’
            “Gue cabut dulu.” Keluar rumah menaiki mobil berwarna biru. Lumayan keren.
            “Semoga gak kecewa deh.” Dari dalam pagar memberi do’a bagi si sobat.

Di tempat kencan..
            “Kamu suka banget makan cokelat, ya?”
            “Mm..mm” menjawab sambil makan makanan kesayangannya. Keasyikan makan sampai gak sadar ada sisa cokelat di pipi.
            “Eh, itu ada cokelat di pipi kamu.”
            “Oh. Iya. Makasih.” Mengelap pipinya.
            “Makanya, jangan suka makan cokelat terus donk. Cokelat tuh bisa bikin gigi rusak sekaligus gendut. Emang kamu mau apa gendut? Aku sih gak mau. Pokoknya kalau kamu gendut, aku langsung putusin kamu tanpa mikir-mikir lagi.”
            “Kok loe tega banget si sama gue? Mungkin sekarang gue belum gendut, ya. Tapi, nanti. Kurang ajar loe, ya. Dasar brengsek.” Terdengar suara kecil dari gesekan antara pipi dengan telapak tangan. Rizka langsung pergi meninggalkan Adit. Sambil menangis dan mengangkat gaun warna pinknya. Pipinya merah, bedaknya luntur. Berhenti sejenak kelelahan berjalan. Di pinggiran taman, di terpa angin malam, di sinari remang lampu jalanan, gadis itu menangis kecewa. Ternyata apa yang para sohibnya bilang, kini terjadi.
            “Kenapa gue gak dengerin apa kata temen-temen gue?! Gue benci Adit. Gue benci loe, Adit. Ih.. gue benci cokelat. Adit brengsek. Loe yang semangatin gue untuk makan cokelat, tapi loe juga yang bakalan ninggalin gue kalau gue gendut gara-gara makan cokelat. Maksud loe apa sih? Gue benci loe! Adit! Gue benci loe. Gue benci cokelat. Gue bakalan tunjukin kalau gue bisa berhenti makan cokelat.” Teriak dalam tangis karena seorang laki-laki. Mematahkan makanan kesayangannya menjadi bagian-bagian kecil yang mulai lumer. Melanjutkan langkahnya menuju rumah. Langkah-langkah kecilnya mengantarkan sampai kedepan hadapan para sahabatnya yang sedang menunggu kabar.
            “Gimana? Lho, kok loe lemes begini sih?”
            “Loe bener. Adit brengsek. Gue benci.” Merusakkan susunan miniatur dari bungkusan cokelat persediannya.
            “Eh, sayang cokelatnya. Sini buat gue aja.”
            “Gila loe, ya, Mut. Rizka lagi patah hati gini, loe malah sibuk sama cokelat.”
            “Maaf, maaf. Jangan sedih donk, Riz.”
            “Gak sedih gimana? Adit bilang dia bakal ninggalin gue, kalau gue gendut gara-gara makan cokelat. Padahal dia yang semangatin gue untuk makan cokelat. Tapi, dia juga yang ninggalin gue. Adit brengsek.”
            “Udah-udah, Riz. Loe juga sih. Kenapa loe gak percaya sam kita? Gue sama Muti udah tau si Adit jauh sebelum loe kenal dia. Tapi, loe malah gak percaya sama kita berdua.”
            “Aaaaaaa. Gue benci cokelat. Gue benci Adit.”
            “Jangan nangis lagi donk. Kasian mata loe. Besok kan kita masih masuk sekolah. Nanti kalau ditanya, loe mau jawab apa. Mendingan loe tidur, ya. Jangan dipikirin lagi.” Membaringkan temannya. Menyelimutinya.
            “Besok gue jemput kayak biasa, ya.”
            Rizka hanya bisa mengangguk dan menggeleng setiap diajak ngomong. Akhirnya, patah hati juga tuh anak. Gak percaya si, sama yang kita bilang. Ya gak, Mut?Iya aja dah gua mah. Ah loe. Tapi, gue, gak nyangka juga sih. Karena Alvi, teman kita bisa kayak dulu lagi. Kita jadi bisa hunting cokelat lagi setelah beberapa minggu ini sempat off. Loe kira online apa off?! Komentar aja si dari tadi. Bantuin gue kek. Sini gue bantu. Rizka ketemu sama Alvi waktu dia lagi nganterin temen gue yang bawel ini nih, Nay beli cokelat. Alvi nanya tentang Rizka.
            “Rizka kok tumben gak beli?”
            “Dia benci sama cokelat semenjak putus sama Adit.”
            “Kurang ajar si Adit.”
            “Udah beberapa minggu ini, dia jadi diam kayak gini. Gue sama Nay bingung mau ngapain.”
            “Tenang, ini urusan gue.” Laki-laki yang bisa dibilang care sama sobat kita, langsung nyamperin Rizka.
            “Riz, jangan sedih terus donk. Jangan gara-gara si Adit, loe jadi gak mau makan cokelat lagi. Gue kasih tau, ya. Orang yang suka makan cokelat tuh awet muda, panjang umur. Jadi jangan berhenti makan cokelat. Cokelat juga bisa bikin perasaan kita jadi tenang lho.”
            “Gue benci Adit.” Mematahkan cokelatnya sambil menatap wajah Alvi.
            “Eh, jangan dipatahin donk.”
            “Kenapa?” gadis itu mulai terpancing untuk kembali seperti sedia kala.
            “Kalau loe benci sama cokelat, berarti loe setuju sama kata-katanya si Adit. Loe harus lawan. Terus makan cokelat. Gue gak ngelarang loe kok. Gue juga gak akan ninggalin loe, kalau loe sering makan cokelat.”
            “Jadi, gue harus apa?”
            “Terus makan cokelat.”
            “Thanks ya.”
            “Yoi.” Tersenyum sejenak, namun tercengang melihat apa yang dilakukan Rizka.
            “Mba, minta semua jenis cokelat yang ada disini. Cepet, ya.”
            “Riz, buat apa?”
            “Lihat aja. Makasih, mba.”
Berjalan menemui Adit..
            “Adit! Gue gak mau karena loe, gue jadi berhenti makan cokelat. Di depan loe juga gue bakal makan cokelat ini. Biar puas.”
            “Riz. Jangan gila deh. Ini banyak banget.”
            “Biarin. Loe kan yang bilang, kalau loe gak akan ngelarang gue makan cokelat.”
            “Tapi, gak gini caranya. Ini banyak banget. Bahaya juga.” Sambil mematahkan semua cokelat yang ada.
            “Al, gue juga nggak segila itu kali. Gue gak mungkin kuat ngabisin cokelat sebanyak ini. Biarin aja, gue ikhlas kalau harus patah hati. Tapi, gue gak ikhlas kalau harus patah cokelat yang gue punya. Jahat loe. Matahin cokelat-cokelat gue.” Pergi meninggalkan Alvi, Mutia dan Nay.
            “Maaf, Riz. Gue gak tahu.” Dengan nada rendah dan menyesal, menundukkan kepalanya.
            “Yaudalah. Yang penting gue tahu, kalau loe peduli sama gue, Al.” berbalik arah.
“Gue gak akan biarin loe patah hati lagi.”
            “Bodo amat dah. Yang penting, gue gak mau lagi patah cokelat.”
            “Hahaha..” kami semua tertawa mendengarnya. Rasa sakit hati Rizka hilang karena cokelat yang dibawakan Alvi. Senang juga lihat dia bisa tertawa lagi. Haha.. Patah hati, patah cokelat. Rizka..Rizka.. gue kira yang paling gila cokelat tuh si, Nay. Taunya Rizka. Ah, Muti… Hahaha…..



S E L E S A I

cerpenku yang terbaru





Betapa lelahnya mengarungi waktu
Satu hari terasa seminggu
Seminggu terasa setahun
Dan setahun terasa seabad
               
                Namun langkah terlanjur jauh berpijak
                Di atas tanah dan rerumputan hijau
                Mundur! Mundur?
                Hah.. aku tak akan rela

Aku terlanjur payah
Aku terlanjur jauh melangkah
Aku telah di ambang di tengah
Dan tak mungkin kulepaskan begitu saja

                Meski terik semakin menjadi
                 Meski keringat terus mengalir
                Meski linangan terus menderu
                Aku akan terus maju, akan kuhadapi dunia baruku

Tapi… aku terhenti sejenak
Kakiku letih untuk melaju
Mataku terpana diam terpaku
Tubuhku tak bergerak menjadi kaku

                Salahkah apa yang kulihat
                Salahkah apa yang kurasakan
                Salahkah jalan yang kupilih
                Dan salahkah dunia baruku ini

Tiga tahun kau tinggalkanku
Tiga tahun kutinggalkanmu
Jauh terpisah ruang dan waktu
Jungkir balik coba lupakanmu

                Tak ingin lagi kuingat
Tak ingin lagi kukenang
Tak ingin lagi kukembali di saat itu
Dan tak ingin lagi kubersamamu

Sungguh, semua telah cukup
Lama kusetia dengan janjiku
Janjiku tuk tak melupakanmu
Meski ku tak tahu, apakah kau pun begitu

                Kumohon jangan ungkit
                Kenangan itu sungguh pahit
                Dimana duniaku terasa sempit
                Dengan aku yang selalu terhimpit

Biarlah Tuhan.. biarkanlah
Aku ikhlas dia telah pergi
Pergi jauh dari hidupku
Dan biarkan aku pun terbebas darinya

                Aku tak ingin terkekang
                Benakku selalu membayang
                Wajahnya selalu terkenang
                Seolah di depan pandang

Aku tak percaya
Aku tak yakin
Mengapa wajahnya semakin jelas
Jelas di hadap bola mataku


                Mataku terbelalak
                Aku terperangah
                Tuhan, ku mohon…
                Bangunkan aku dai mimpi buruk ini

BUkan! Ini bukan mimpi!
Mungkinkah dia adalah kamu
Sebagai penggantimu
Dari Tuhan untuk menjagaku di kejauhanmu…


Pahit, manis dan asam
masa yang pernah terlalu menjadi
sebuah kenang










               




Melangkah Untuk Kembali




Mungkin apa yang kulihat dan kurasakan saat ini adalah mimpi. Entah mimpi indah ataukah mimpi buruk bagiku. Sempat aku berfikir, apakah aku lupa membaca do’a sebelum tidurku. Namun, ketika aku mulai terbangun, aku sadar bahwa apa yang kulihat dan  apa yang kurasakan saat ini bukanlah sebuah bunga tidurku. Hal ini adalah kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku dan kehidupan baruku. Aku masih belum yakin dan aku tak percaya. Aku telah mengikhlaskan dia, seseorang yang berharga di masa laluku, setelah tiga tahun berpisah dengannya sejak kepindahan SMP. Untuk menjalin komunikasi seperti dulu pun aku enggan melakukannya. Hal itu hanya akan membuatku rindu masa lalu dan menangis saat mengenangnya. Meski tiga tahun kumenunggu untuk setia kepadamu. Namun akhirnya, kuputuskan tuk akhiri pilihanku ini.
           
            Sore ini pun lagi-lagi aku mendapat giliran pulang yang terakhir. Sekolah hampir sepi. Dari sekian ratus siswa yang studi di SMA ini, tinggal beberapa puluh orang saja yang masih bisa dihitung dengan jari-jariku. Salam-sapa serta klakson turut meramaikan jalan depan sekolah. Kekeluargaan sekolah ini patut kuacungkan jempol. Bukan hanya dua jempol, kalau boleh aku pinjam jempol kalian.
            Sebelum kulangkahkan kakiku keluar dari gerbang sekolah, aku sempat melihat kakak itu berboncengan dengan temannya sambil menenteng-nenteng sepasang sepatu yang ia lepas. Aku tahu ia memperhatikanku hingga benar-benar pulang dengan sebuah kendaraan. Aku tak berbalik arah, sekalipun hanya untuk tersenyum menghormati dia sebagai kakak kelasku. Biarlah biar, aku tak peduli. Aku tak lagi ingin tenggelam dan larut seperti masa itu. Aku tak ingin terulang lagi. Cukup sekali.
            “Jika tak mengharapkan, maka aku tak akan lagi merasa kehilangan.” Ucapku dalam lubuk hati.
Di sepanjang jalan pulang, wajahku mendongak menatap awan senja yang mulai kemerahan setelah di tinggal oleh matahari yang perlahan tenggelam. Hingga tak terasa aku sudah sampai di rumah. Rasa lelah sehabis belajar seharian lamanya tak lagi pernah kurasa. Semua kuhadapi dan kujalani dengan senyuman. Belum lagi tugas yang katanya seabrek-abrek, menurutku itu nggak benar. Sedikitpun, aku jarang mengerjakan tugas sekolah di rumah. Semua tugasku telah selesai sejak di sekolah tadi.
            Kuambil sebuah buku dari rak buku. Kubuka di bagian pertengahannya. Mulai saja jari-jariku lentur menuliskan apa yang ada di fikiranku saat ini.

            Bukan sebuah istana yang megah
            Tangga tersusun menyongsongnya
            Namun berdegup hati nan merah
            Ketika perlahan kubuka mata
Bukan ungkapan cinta sang pujangga
Juga bukan lantunan merdu sang penyair
Hanyalah dia bertegak di depan mata
Membuat tangis bergerak mengalir
           
            Ingin aku berlari
            Menghindari keadaan ini
            Tapi apalah daya dalam diri
            Jika Sang Kuasa tak memberi

Terjadilah apa yang hendak terjadi
Lakukanlah apa yang harus dilakukan
Tapi satu pintaku, Tuhan
Bantuku tuk tegar menghadapi

            Kenyataan ini
            Begitu membuat aku merasa bimbang
            Ragu ku selalu bertanya
            Rasaku kini terulang kembali


            “Wajah yang sama belum tentu sikapnya juga sama. Terutama hatinya..” Lagi-lagi bayangan kakak itu terlintas lagi dalam benakku. Hush.. hush.. pergi. Jangan kemari. Tak ada lagi ruang untuk menampungmu dalam benakku. Sana-sana. Jangan ganggu aku. Dua kata, bebaskan aku.
            Tidur. Satu-satunya cara menghilangkan kepenatan. Mata yang selalu terbelalak membuka di setiap harinya, otak yang selalu bekerja dan fikiran yang diharuskan terbuka luas mencengkeram cakrawala. Dengan berdo’a agar mimpi indah selalu hadir bagai bunga tidurku. Mengucapkan berbagai kata terima kasih atas nikmat hari ini dan berjuta harapan untuk hari esok yang lebih baik lagi. Kututup hari ini bersamaan dengan terpejamnya mataku. Selamat malam, rembulan. Tersenyumlah engkau selama menjaga tidurku di malam kelam.



*******


         

Dering jam bekker yang tersetel semalam sebelum tidur, tepat berbunyi di telingaku. Sontak aku terbangun dari tidur lelapku. Lagi-lagi mulutku komat-kamit membaca mantra sebangun tidur dan berjuta harapan di hari ini. Berbagai ritual sebelum sekolah terlaksana secara urut dari A sampai Z. Lagi-lagi di pagi ini pun aku menatap lagi langit yang masih berkabut. Embun membasahi rerumputan sekolah yang selalu terlihat hijau. Kulangkahkan kaki dengan tak gentar. Berdebumlah, berdebum. Laksana Raksasa ataupun Buto Ijo. Memasuki pekarangan sekolah di pagi buta yang masih kaya akan oksigen bebas tanpa ada jual-beli disekelilingnya. Tak lama, sekitar lima belas menit kemudian waktu menunjukkan 06.45. saatnya apel pagi.
            Terjajar barisan rapi, dari yang tertinggi hingga terendah. Pertama kali ikut apel ini aku merasa bingung. Sebab, di SMP dulu kami berbaris dari yang terendah hingga yang tertinggi, berbalik arah dengan di SMA sekarang. Pernah salah satu guru dan instruktur yang terdiri dari TNI, saat latihan disiplin dan mos mengatakan “rangkaian yang semakin panjang, akan semakin sulit untuk di atur. Di dalam rangkaian terdiri dari kepala, badan dan ekor. Sebab itulah kamu berbaris dari yang tertinggi ke terendah’’. Kalimat itu begitu menjamin kepercayaan kami seorang siswa terhadap gurunya.
          Satu persatu petugas memasuki lapangan apel. Mulai dari pemimpin dan Pembina. Semuanya masih baik-baik saja, hingga satu petugas memasuki arena apel dari ujung pandangku melintas di depan, tepat di depan bola mataku. Jantungku mulai berdegup kencang, darah seolah mengalir tak kenal arus, hatiku meledak membuncah. Seolah ada pegas yang membuat sekujur tubuhku terasa ngilu-pilu.
            “Irsyad?” wajahku memerah. “Irsyad!” sekali lagi nama seseorang keluar dari mulutku. “Dia, mengapa bisa ada disini? Di sekolahku? Sedangkan terakhir kami bertemu dia masih  di Temanggung sana, di SMP lama. Lalu?” beribu pertanyaan datang menghampiriku. Seribu kali pun aku berfikir, tak akan ada satu jawaban yang berhasil kutemukan secara akurat. Bahkan untuk hipotesis awal pun masih penuh kebimbangan.
            Mungkinkah aku masih bermimpi? Bertemu si doi di setiap hari sambil merasakan hangatnya mentari yang tengah menyambut pagi.         Tak akan bergetar lagi derap langkahku. Sejuta semangat membakar asaku. Terus kususuri sambil melihatnya di sepanjang jalanku. Kelopak mataku pun enggan mengedip, walaupun hanya satu kali. Aku tak ingin dia pergi ‘lagi’ dalam genggam hadapku. Tapi, sayang, hendak apa kuberkata. Lagi-lagi ini bukan mimpi. Ini nyata! Sungguh nyata. Rasaku langsung hilang, semangatku lari menerjang. Bukan lagi mimpi indah yang berubah menjadi kenyataan, namun mimpi ini menjadi menyeramkan. Seutas tali harapan, pimpinku dalam dekapan menghadapi sulit ujian ini, Tuhan.
“Tapi.. tunggu sebentar.” Keraguanku semakin menguat. “Irsyad yang terakhir kali kulihat, itu tidak tinggi seperti ini. Ia juga hanya memiliki bentuk tubuh yang standar. Sedang yang barusan ini kulihat, Irsyad berbadan tegap dan tinggi. Apakah dia Irsyad? Tapi.. dia..” rasa aku pernah melihatnya. Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. “.. dia.. dia seniorku yang kemarin sore. Okta. Kak Okta.” Jawaban itu pun tak membuatku urung untuk terus berfikir.
            Kejadian itu yang melatarbelakangi aku untuk selalu menatap dan memperhatikan gerak-geriknya beberapa hari belakangan. Sedikit demi sedikit apa yang kulihat darinya, kubandingkan. Beta-beti. Sebelas-dua belas. Bagai pinang di belah dua, hanya saja pada saat membelahnya kurang akurat. Sehingga besar sebelah. Sejauh ini memandanginya seperti sudah menjadi keharusan. Hatiku pun luluh lantak dibuatnya. Fikiranku gelisah, gundah gulana. Dan yang mengerikan lagi, sorotannya padaku.
            Aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku belakangan terakhir. Fikiranku tak hanya dipenuhi segudang hafalan pelajaran, namun juga wajah mereka beruda yang sama persis. Bagaimana bisa aku membayangkan cara Tuhan membuat dua insan yang sama persis dengan latarbelakang keluarga dan tempat yang berbeda jauh. Benarkah ini sebuah kebetulan belaka? Terkadang aku berfikir, hal ini seperti pelajaran sejarah. Dengan pengertian “sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi di masa lampau yang berkaitan dengan masa kini untuk bekal di masa depan”. Perbedaannya dengan problemaku ini adalah “okta adalah seseorang di masa laluku, yang kemudian muncul di hidup baruku, entah berkaitan atau tidak di masa depanku”.
            Aku berjalan menuju ruang kelas. Ada Mbak Rika dan Kak Okta di sana. Entah apa yang terjadi, aku melihat Kak Okta memegang hidung Mbak Rika. Sejenak aku terpaku, lalu tatapanku dan Kak Okta bertemu dalam satu titik. Langsung saja aku menunduk, tak ingin kulihat pemandangan di hadapku itu. Kupercepat langkah kakiku. “Siapa dia? Aku gak kenal. Aku gak kenal. Siapa Okta? Siapa? Gak tau, aku gak kenal.” Ucapku memungkiri keadaan ini. Payah.
Hari terasa cepat sekali berlalu. Kini senja sudah menantiku lagi. Untuk mengucapkan hati-hati di jalan. Aku masih menunggu di depan gerbang sekolah. Membawa empat buah buku pelajaran setebal alaihim.
            “Mbak..” sapaku pada kakak kelas. Entah kenapa rasa hatiku mengikat pada dua kakak kelas ini yang tengah berboncengan di depan hadapku, Mbak Edis dan Kak Roni. Apakah aku akan menghadapi pandangan seperti ini lagi? Langsng kusingkirkan fikiran yang menganar saat ini. Kubuka halaman demi halaman. Kubaca dan terus kubaca. Hingga aku penat mendengar kebisingan jalan oleh tegur sapa para siswa. Terlintas sebuah motor di hadapku. Dengan Kak Okta dan Mbak Yeyen yang sedang berboncengan.
            “Apa kuduga?” ucapku bersugesti pada diri sendiri. Hallo.. penting gak sih. Loe dan diri loe. Mbak Edis dan  Kak Roni. Dia melihatku. Secepat langsung kutundukkan wajahku. Gaya pegas itu mengisi lagi tubuhku dengan arus yang sangat kuat. Huuuuh.. ngilu.


*******
            Dari sini kulihat dia berjalan, seperti Irsyad di masa dulu. Tanpa kusadar, berlinang air mataku.
            Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu mirip dia yang berharga bagiku. Tapi, aku menyukaimu karena suatu alasan yang aku sendiri pun tak tahu apa alasan itu. Mencintaimu.. Tadinya adalah keindahan. Aku teringat akan kenangan. Mencintaimu pun.. sempat terfikir sebagai anugrah tersendiri dari Tuhan, tuk isi kembali sebuah kehampaan. Namun, semakin kumenikmatinya, ternyata tak sekadar keindahan. Mencintaimu juga sebagai ujian yang menghujam. Kini semakin kuat kurasakan. Semakin tergores pula hatiku, aku terluka.
“Mila!” buku tugas menoyor wajahku. Secepat kilat kututup lembaranku dari Ratih. “Ayo donk ajarin. Gak mudeng nih.” Kucoba membaca perintah dalam tugas itu. Perlahan demi perlahan kucoba lupakan kejadian barusan. Menggantinya dengan pelajaran.
“Oh Tuhan, sungguh. Ini sangat membingungkan. Aku tak kuat lagi menanggung asaku yang melayang tak tentu arah. Di dua periode hidupku, problema ini menjadi momok yang selalu menggentayangi, menakut-nakutiku. Dan di saat ini pun aku menangisi hal kecil yang terasa besar bagiku. Sungguh, aku rela jika dia bukan milikku. Walaupun aku terkanjur jatuh hati padanya. Biarkanlah dia pergi jika dia bukan untukku, dan jangan biarkan dia pergi ‘lagi’ jika dia memang untukku.” Dalam hati kumenangis. Melihat Okta di kejauhan sana. Kakak kelasku yang tak sengaja masuk di hidup baruku dengan peran yang cukup penting.
            “Aku percaya, semua masalah Engkaulah yang memberinya, dan aku pun percaya. Disaat-saat yang kuanggap sulit, di saat-saat yang kuanggap berat, bantulah aku untuk menghadapi, menjalani dan melewati. Dan jika ku tak mampu, kuserahkan kembali semuanya kepada-Mu.” Mataku nanar memandang sekitar hingga tepukkan Ratih tepat di pundakku menyadarkanku untu kembali mengajarkannya.
            “Mil, Aku sempat cemburu sama Mbak Yeyen. Dia udah punya cowok, tapi masih aja deket-deket sama punya orang.” Omongannya membuat mata pensilku terhenti.
            “Oh ya?” tepat seperti yang kemarin sore.
            Kutetapkan tekad membara. Untuk tak lagi memperhatikannya, memikirkannya dan segala kegiatan yang ada hubungan dengannya. Sudah beberapa hari ini pun aku pulang duluan tanpa melihat dia yang melintas sebelum aku pulang. “Nggak ada kata nggak bisa, Mil.” Sugesti.
            “Mila?” sapa seseorang yang tengah berdiri tegak di hadapanku. Aku terkejut. Suaranya membangunkanku dari lamunan.
            “Iya. Loh?” aku menggigit ujung jari telunjukku. Jantung semakin terasa berdegup. Dia seseorang yang sejak beberapa hari lalu telah kuhindari.
            “Dipanggil Bu Lia.” Tangannya menjulur ke arahku. Menawarkanku tumpangan untuk mempermudah aku berdiri. Namun, aku kukuh bangun sendiri dengan tidak menyentuh kulitnya seujung jari pun. Berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku kira dia akan..
            “Ada apa, Kak?” kuberanikan untuk bertanya padanya. Sekali ini, terasa aku kembali berkata-kata dengan Irsyad.
            “Setahu Kakak tadi, kamu juga di suruh ikut lomba Sains.” Juga? Berarti Kak Okta ikut. Ini adalah sebuah pertaruhan antara senang dan terluka. Aku hanya mengelus dada. Sabarlah hatiku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. “Kenapa, Mil?” tanyanya membungkam aku yang sedang asyik dengan fikiranku sendiri.
            “Oh, nggak. Siapa aja yang ikut, Kak? Bu Lia gak salah milih orang. Masak Mila disuruh ikut.”
            “Kakak yang mengajukan, Mil.” Terkesima aku mendengar sekaligus melihatnya yang tengah berjalan di sebelahku. Apa alasannya? Tanyaku. “Kakak sering memperhatikan kamu.”
            Oh Rabb. Inikah sebuah kejutan dari penantianku selama tiga tahun kemarin? “Maksudnya?” tanyaku meyakinkan. Kata-katanya membuat hatiku teriris.
            “Referensi lain adalah Ratih. Kakak sering bertanya siapa yang sering bersama Ratih, yaitu kamu, Mila. Dari dia juga kakak tahu..” tahu apa? Semakin membuncah. Aku gelisah.
            “Tahu apa, Kak?”
            “Tahu kalau kamu pintar Sains.” Oh.. kukira percakapan itu cukup untuk jadi penutup. Sampai akhirnya kami dapat pengarahan untuk lomba dan terus berlatih. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku harus siap terluka. Melihat Irsyad dengan perasaan yang berbeda denganku. Saat berlatih pun terkadang tanpa sadar lagi-lagi aku menangis sambil mengerjakan setumpukkan soal.
            “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki untuk terjadi. Seberat apapun itu bagiku. Satu pintaku, bantu aku untuk menghadapi, menjalani dan melewatinya dengan hati yang ikhlas, sabar dan tegar.” Aku tersesak dalam keadaan ini. Lagi-lagi aku terhimpit dalam duniaku yang terasa sempit.
            “Ini.. Jagalah perasaanmu.” Sehelai kain tersodor di depan wajahku. Kak Okta, bukan membuat aku berhenti menangis, justru membuatku tambah menangis. Betapa pilu dan terlukanya aku. Setelah tiga tahun menghilang, kini ia kembali dengan keadaan yang mengerikan. Mungkin dengan tanpa perasaan sedikit pun kepadaku. Miris sekali bukan???
            “Maaf kalau Kakak sudah mengingatkan Mila tentang Irsyad. Kalau boleh, Kakak tak hanya sekedar ingin mengingatkan. Tapi, Kakak juga berharap bisa menjadi pengganti Irsyad di hidup barumu.” Seolah ada pesawat roket dengan hitungan lima detik membawaku melayang, membumbung tinggi menerjang awan dan langit biru. Tidakkah betepa merah hatiku. Terluka tak lagi kurasa. Tak sia-sia kesetiaanku selama tiga tahun lalu. ternyata dia hadir kembali memang hanya untukku. Terima kasih, Tuhan.. atas segala nikmat yang Engkau berikan.
            Berkat lomba Sains ini aku kembali. Melangkah ke depan untuk kembali ke masa lalu yang lebih baik lagi. Dan tahukah kamu bagaimana akhir dari lomba ini???
            “Prestasi membanggakan ini tak hanya diukir dari Okta kelas sebelas, tapi adik kelas juga turut membanggakan sekolah ini. Kelas sepuluh atas nama Mila Ahmi.” Beribu sorakan dan tepukan kedua pasang tangan memberai. Piala membumbung tinggi ke atas, serta uang pembinaan menjadi kebanggaan tersendiri.
            “Ratih, kamu bilang apa?”
            “Aku? Bilang apa?”
            “Udahlah. Aku!”
            “Peace, ya, Mil. Habisnya Kak Okta nanya terus. Dia sering perhatiin kamu loh. Nggak masalah, kan?”
            “Kurang ajar.. lihat nanti, ya.”
            “Ampun, Mil. Ampun.”
            “Sekarang aku yakin, tak pernah ada yang sia-sia di dunia ini selagi kita positive thinking dan selalu optimis pada-Nya. Semoga bahagia selalu dalam genggaman.”