Say What Do You Feel Now!!!

Minggu, 30 September 2012

Rianti


Rianti
Kawat Lurus Bagai Duri


            Rasanya pasti seru jika kita memiliki sohib lengket seperti amplop dengan perangko. Melewati har-hari dengan kebersamaan, saling melengkapi. Kalau sebelumnya hidup kita hanya berwarna hitam dan putih ukuran tiga kali empat, sejak ada sohib pasti akan berubah menjadi warna ukuran close up. Juga kalau sebelumnya hidup kita hanya berwarna hitam dan putih, maka dengan adanya sahabat hidup seperti pelangi.
            Namun apa jadinya bila sebuah kepercayaan seorang sahabat terkhianati? Bagikan meniup balon, kemudian pecah karena ditusuk jarum dalam sekedipan mata. Atau lebih tepatnya lagi memberikan kebahagiaan kita untuk dia. Membiarkan dia membawa pergi. Merelakan kebahgiaan untuk kebahagiaan.
            “Ri, maafin aku, ya? kemarin aku udah marah-marah sama kamu.” Ucapnya sambil menggenggam tangan Rianti.
            “Nggak papa. Aku ngerti. Kamu gak usah banyak mikiran masalah kemarin. Nanti kepala kamu sakit lagi. Aku gak mau kamu kenapa-napa.” Ujarnya menenangkan Meydi. Menyambut genggamannya. Sambil menatap takut mata Yuda yang sedang berdiri di samping Meydi.
           
Baru saja lusa kemarin aku menerima Yuda lebih dari sekadar sahabat. Aku tak tahu jika Meydi juga menaruh harapan padanya. Sampai kutahu hal ini dari Rena. Sekejap itu, Meydi mengesampingkan janji persahabatan kami.
“Rianti. Kamu tuh sahabatku atau musuhku sih?! Kamu gak kurang-kurang dari pengkhianat.” Menghempas bahuku. Ia lose controlled. Bukan rasa takut ia akan benci padaku, namun rasa takut penyakitnya timbul di sekolah. Papa dan Mamanya telah menitipkan Meydi padaku. Untuk itu, aku harus selalu menjaga Meydi. Dan sejak saat itu pula, kesabaranku harus selalu dilatih.
Orangtua Meydi tak pernah memberitahu apa penyakitnya. Ia takut aku kelepasan dan rahasia mereka akan terbongkar. Namun mereka hanya bilang, bahwa Meydi bisa saja lupa akan suatu hal dan lepas emosi. Teringat aku akan pesan mereka saat Meydi marah kepadaku.
“Mey, aku minta kamu tenang. Aku akan jelasin semuanya. Aku dan Yuda gak ada hubungan apa-apa, hanya teman. Seperti aku dan kamu.” Kupegang bahunya.
“Ri!” panggil Yuda kecewa atas jawabanku. Meninggalkan aku dan Meydi. Namun, apapun yang terjadi aku harus ada di samping Meydi.
“Serius, Ri? Kamu nggak lagi bohongin aku, kan?” emosinya mereda. Aku tak ingin mengingkari janjiku padanya dan janjiku kepada orangtuanya.
“Mm.” menganggukkan kepala. “Kayaknya kamu kurang sehat deh. Pucat, Mey. Kita ke UKS aja, ya?” kuantar Meydi ke UKS. Ia merintih kesakitan. Semakin tak ingin kumengecewakannya. Pingsan di hadapanku. Fikiranku kosong. Aku bingung, apa yang harus kulakukan. Tak tega melihatnya hidup dalam angan dan khayalannya sendiri. Serta dalam kebohongan aku dan Yuda. Di satu sisi aku harus menemaninya, di sisi lain aku harus member penjelasan kepada Yuda.
“Ri, aku minta maaf gara-gara aku, Meydi jadi kayak gini.” Ujar Rena membangunkanku dari lamunan.
“Nggak kok. Ini bukan salah kamu. Ini salah aku, coba aja kalau aku tahu Meydi suka sama Yuda, aku gak akan biarin ada hubungan antara aku sama Yuda.” Mencoba untuk menguatkan diriku sendiri.
            “Aku bangga punya teman kayak kamu. Udah baik, rela untuk mengorbankan diri sendiri lagi. Terus berjuang, ya, Ri.” Menepuk bahuku. Aku terdiam tercengang. “Aku tahu sekarang kamu lagi bunging banget, kan? Mendingan kamu temuin Yuda untuk jelasin semuanya.”
            “Meydi?” fikirku dua kali sebelum aku pergi meninggalkannya.
            “Meydi biar aku aja. Hitung-hitung untuk memperbaiki kesalahanku. Sudah pergi sana. Selesaikan semuanya.” Aku berjalan keluar. Mencari sosok Yuda, ternyata ia sedang menghampiriku.
            “Tolong jelasin maksud kamu kalau kita itu hanya teman.” Memegang pundakku erat sekali. Aku takut.
            “Sebelum kami bersahabat, Mama dan Papa Meydi berpesan padaku untuk menjaga Meydi di sekolah dari penyakitnya. Mereka tak membertahuku penyakit apa yang diidap Meydi. Mereka hanya bilang, bahwa sewaktu-waktu Meydi bisa lupa akan suatu hal dan lepas emosi. Untuk itu, aku bilang kalu kita hanya teman. Aku nggak mau Meydi tambah sakit seperti sekarang ini. Dia terbaring pingsan di UKS, Yud.”
            “Rianti, hubungannya sama kita apa?” tatapannya semakin dalam. Genggamannya semakin erat.
            “Kenapa kamu gak ngerti juga sih? Aku bingung, harus jelasin gimana lagi biar kamu ngerti.” Kutundukkan kepalaku.
            “Yaudah.” Melepaskan genggamannya dan pergi meninggalkanku yang sedang berdiri terpaku. Hatiku perih. Tak tahan aku.
            “Meydi itu suka sama kamu, Yuda!” teriakku tak tahan lagi. Menangis aku.
            “Apa?” berbalik arah. Menghampiriku lagi. Tatapannya semakin dalam ke dalam mataku. “Apa kamu bilang?” mengangkat wajahku.
            “Meydi suka sama kamu. Dan aku baru tahu itu.” Air mataku jatuh ditarik gravitasi.
            “Maksud kamu?” melepaskan genggamannya.
            “Kalau aja aku tahu dari awak, Meydi itu suka sama kamu, aku gak akan ngebiarin ada hibungan yang mengikat kita.”
            “Jadi maksud kamu, kamu gak mau ada hubungan ini?”
            “Yuda, cinta itu gak perlu dengan hubungan seperti ini. Tanpa hubungan ini pun kita bisa memiliki persaan kita.”
            “Tapi aku gak bisa.” Lagi-lagi meninggalkanku begitu saja. Walau baru selangkah.
            “Kamu harus bisa. Demi aku, Yud. Cinta itu butuh pengorbanan.”
            “Jadi maksud kamu, aku juga harus ..” berbalik arah lagi. “.. suka sama Meydi?” aku tak tahu sejak kapan ia ada di belakang kami. Mendengarkan pembicaraan ini.
            “Yuda, ternyata kamu juga suka sama aku? Berarti benar, Rianti gak lagi ngebohongin aku.” Dia memeluk Yudha di hadapanku. Semakin menangis aku. Betapa pelik masalah ini. Betapa perih teriris hatiku. Entah apa yang harus aku lakukan.
            “Maaf, Ri. Tapi Meydi maksa untuk keluar.” Ucap Rena menyesal.
            “Rianti..” ucap Yuda berbisik.
            Aku hanya diam berfikir. “Lakukan saja. Demi aku. Kumohon.” Kuusap pipiku. Penuh air mata ternyata. Berusaha menyembunyikan rasa sakit ini dari Meydi.
            “Mey..” sahut Yuda.
            “Iya?” melepaskan pelukkannya.
            “Selamat, ya, Mey. Selamat, ya, Yud.” Jabatanku tak terbalas.
            “Rianti..” sahut Rena lemah. Menatap wajahku yang penuh kehancuran.
            Sebuah pengorbanan diantara kesetian seorang sahabat. Inilah Rianti.

S E L E S A I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar